Perlindungan Hukum Terhadap Korban (Viktimologi)

(maaf, sebagian tidak mencantumkan sumber)

Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Viktimologi

Disusun Oleh :
Novi Anggraini Putri
(8111413099)

Rombel : 01
Hari/Ruang : Selasa/K3.206

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
FAKULTAS HUKUM
2017
Continue reading “Perlindungan Hukum Terhadap Korban (Viktimologi)”

Sertifikat Ganda Atas Tanah Hukum Agraria

 

 

MAKALAH HUKUM AGRARIA

REVITALISASI FUNGSI SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH

GUNA MENCEGAH TERJADINYA SERTIFIKAT GANDA ATAS TANAH

(Demi Mewujudkan Kepastian Hukum Atas Sertifikat Hak Atas Tanah

Sebagai Bukti Hak Kepemilikan Atas Tanah)

Disusun oleh :

Novi Anggraini Putri             8111413099

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2014

BAB 1

PENDAHULUAN

1.2   LATAR BELAKANG

Tanah sebagai salah satu sumber daya alam merupakan salah karunia Tuhan Yang Maha esa. Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian, bahkan tanah dan manusia tidak dapat dipisahkan dari semenjak manusia lahir hingga manusia meninggal dunia. Manusia hidup dan berkembang biak serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap manusia berhubungan dengan tanah. Begitu urgennya tanah dalam hubungannya dengan kehidupan manusia, maka oleh Ter Haar (Sri Susyanti, 2010:1) dijelaskan bahwa tanah merupakan temppat tinggal, tanah memberikan kehidupan dan penghidupan, tanah dimana manusia dimakamkan dan hubungannya bersifat magis-religius.

Dalam hukum positif Indonesia, hukum tanah nasional berpedoman pada Undang Undang Pokok Agraria. Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat dengan UUPA, merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia, adapun tujuan dari UUPA itu sendiri sebagaimana yang dicantumkan dalam Penjelasan Umumnya adalah :

  1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
  2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
  3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Berdasarkan tujuan pokok UUPA tersebut di atas diatur macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh setiap orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain ataupun badan hukum. Menurut Pasal 16 UUPA, hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai dan diberikan kepada setiap orang dan atau badan hukum adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lain sebagainya.

Yang dimaksud dengan hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UUPA), sedangkan hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu (paling lama enampuluh tahun), guna perusahaan pertanian (perkebunan), perikanan atau peternakan (Pasal 28), dan hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35).

Terhadap hak-hak atas tanah tersebut di atas, undang-undang mewajibkan kepada pemegang hak untuk mendaftarkannya. Menurut Pasal 19 UUPA, untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Pendaftaran tersebut meliputi pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan haknya, serta pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Berbagai permasalahan timbul mengenai implementasi dari UUPA tersebut. Hak-hak tanah pada khususnya hak milik seringkali terjadi perselisihan karena adanya kasus sertifikat ganda yang kerap kali terjadi di kalangan masyarakat.

1.3   PERUMUSAN MASALAH

  1. Apa yang dimaksud dengan pendaftaran atas tanah?
  2. Apa yang dimaksud dengan sertifikat hak atas tanah?
  3. Apa yang dimaksud dengan sertifikat ganda atas tanah?

1.3   TUJUAN

  1. Mengetahui yang dimaksud dengan pendaftaran atas tanah.
  2. Mengetahui yang dimaksud dengan sertifikat hak atas tanah.
  3. Mengetahui yang dimaksud dengan sertifikat ganda atas tanah.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1   PENDAFTARAN ATAS TANAH

 

  1. Pengertian Pendaftaran Tanah

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk menjamin kepastian hukum diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah R.I. menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 19 UUPA). Adapun peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari Pasal 19 tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai ganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961dan Peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

  1. Azas Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.

  1. Azas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama para pemegang hak atas tanah.
  2. Azas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum.
  3. Azas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaran pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan.
  4. Azas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksana-annya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari.
  5. Azas terbuka dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat.
  1. Tujuan Pendaftaran Tanah.

Ada 3 (tiga) tujuan pendaftaran tanah , yaitu :

  1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
  2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar.
  3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Khusus untuk tujuan pendaftaran tanah pertama yaitu untuk memberikan jaminan kepastian hukum, meliputi :

  1. Kepastian mengenai subyek hukum hak atas tanah (orang atau badan hukum)
  2. Kepastian mengenai letak, batas, ukuran/luas tanah atau disebut kepastian mengenai obyek hak.
  3. Kepastian hak atas tanah, yakni jenis/macam hak atas tanah yang menjadi landasan hukum antara tanah dengan orang atau badan hukum.
  1. Kegunaan Pendaftaran Tanah.

Pendaftaran tanah mempunyai kegunaan ganda, artinya di samping berguna bagi pemegang hak, juga berguna bagi pemerintah.

  1. Kegunaan bagi pemegang hak :
  • Dengan diperolehnya sertifikat hak atas tanah dapat memberikan rasa aman karena kepastian hukum hak atas tanah;
  • Apabila terjadi peralihan hak atas tanah dapat dengan mudah dilaksanakan;
  • Dengan adanya sertifikat, lazimnya taksiran harga tanah relatif lebih tinggi dari pada tanah yang belum bersertifikat;
  • Sertifikat dapat dipakai sebagai jaminan kredit;
  • Penetapam pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak akan keliru.
  1. Kegunaan bagi pemerintah :
  • Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah berarti akan menciptakan terselenggarakannya tertib administrasi di bidang pertanahan, sebab dengan terwujudnya tertib administrasi pertanahan akan memperlancar setiap kegiatan yang menyangkut tanah dalam pembangunan di Indonesia.
  • Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, merupakan salah satu cara untuk mengatasi setiap keresahan yang menyangkut tanah sebagai sumbernya, seperti pendudukan tanah secara liar, sengketa tanda batas dan lain sebagainya.
  1. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

Pelaksanaan pendaftaran meliputi kegiatan tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah

  1. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :
  • Pengumpulan dan pengolahan data fisik
  • Pembuktian hak dan pembukuannya
  • Penerbitan sertifikat.
  • Penyajian data fisik dan data yuridis.
  • Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
  1. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi :
  • Pendaftaran peralihan hak dan pembeban hak.
  • Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya

Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah pendaftaran tanah yang didasarkan pada suatu rencana kerja pemerintah dan dilaksanakan dalam suatu wilayah yang ditetapkan oleh Menteri, sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah pendaftaran tanah yang dilakukan atas permintaan atau permohonan pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan pendaftaran tanah sedangkan masyarakat (pemegang hak atas tanah) berkewajiban untuk mendaftarkan hak atas tanah tersebut (Pasal 23, Pasal 32 dan {Pasal 38 UUPA).

2.2   SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH

  1. Pengertian Sertifikat Hak Atas Tanah

Undang-undang tidak memberikan pengertian yang tegas mengenai sertifikat hak atas tanah. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat adalah adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Kalau dilihat Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, maka sertifikat itu merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.

Selanjutnya Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

Selain pengertian sertifikat yang diberikan oleh undang-undang secara otentik, ada juga pengertian serttifikat yang diberikan oleh para sarjana. Salah satunya adalah K. Wantjik Saleh yang menyatakan bahwa sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri.

Dari pengertian di atas penulis berpendapat bahwa sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang dijilid dan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, dimana data tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

  1. Prosedur Penerbitan Sertifikat Tanah

Sertifikat hak atas tanah adalah tanda bukti hak atas tanah, yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. dalam proses sertifikasi tanah untuk pertama kali maka melalui pasal 32 Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menjelaskan bahwa :

  1. Sertifikat hak atas tanah merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dalam buku tanah hak yang bersangkutan.
  2. Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak atas tanah tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak terbitnya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan kepengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.

Sertifikat hak atas tanah membuktikan, bahwa seseorang atau suatu badan hukum mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu, sedangkan sertifikat hak tanggungan membuktikan, seseorang atau badan hukum, sebagai kreditur mempunyai hak tanggungan atau jaminan atas suatu atau beberapa bidang tanah tertentu.

Berdasarkan hal tersebut di atas dan untuk mengetahui prosedur penerbitan sertifikat hak atas tanah maka dibawah ini ada beberapa cara yang biasa ditempuh oleh pemohon untuk memperoleh sertifikat tanah :

  1. Pertama : Pendaftaran tanah dilakukan dengan cara pemohon sertifikat mendatangi kantor pertanahan dan mengajukan permohonan seraya menyerahkan berkas permohonan serta persyaratan kelengkapan seperlunya termasuk surat kuasa dari pemilik (jika pemohon mengurus tanah orang lain) dan membayar sejumlah biaya yang telah ada daftar tarifnya sesuai luas tanah pemohon proses pembayaran berlangsung diloket khusus gedung kantor pertanahan.
  2. Kedua : Pemohon menunjukan batas-batas bidang tanah yang di klaim sebagai hak milik dilapangan kepada petugas kantor pertanahan, setelah pemohon menerima surat atau pemberitahuan permintaan untuk itu dari kepala kantor pertanahan.
  3. Ketiga : Pemohon mengisi dan menandatangani berita acara mengenai data fisik dan data yuridis hasil pengukuran dan pemeriksaan petugas kantor pertanahan dihadapan petugas kantor pertanahan.
  4. Keempat : Pemohon menunggu terbitnya sertifikat hak milik tanah sekurang-kurangnya selama 60 (enam puluh) hari sejak berakhirnya langkah ketiga diatas. Waktu penantian 60 hari tersebut diperlukan oleh kantor pertanahan guna mempublikasikan/ ngumumkan data fisik dan data yuridis bidang tanah pemohon pada papan pengumuman di kantor pertanahan dan kantor desa/kelurahan atau atas biaya dapat diumumkan melalui iklan atau surat kabar daerah.
  5. Kelima : Pemohon menerima sertifikat hak milik atas tanah dikantor pertanahan dari pejabat yang berwenang, setelah pemohon sebelumnya menerima surat panggilan atau pemberitahuan dalam bertuk lain dari kantor pertanahan untuk itu.
  1. Manfaat Sertifikat Hak Atas Tanah
  2. Sebagai alat bukti yang kuat bagi pemiliknya.

Fungsi sertifikat hak atas tanah (hak milik) menurut UUPA merupakan alat bukti yang kuat bagi pemiliknya, artinya bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam buku sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.

Sertifikat sebagai alat bukti yang kuat, tidak sebagai alat bukti mutlak, hal ini berkaitan dengan sistem publikasi yang dianut oleh hukum pertanahan Indonesia baik Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yakni sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

  1. Sebagai akte otentik

Sertifikat sebagai akte otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dalam arti bahwa hakim harus terikat dengan data yang disebutkan dalam sertifikat itu selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain.

2.3   SERTIFIKAT GANDA ATAS TANAH

  1. Pengertian Ganda Atas Tanah

Sertifikat ganda adalah kejadian dimana sebidang tanah memiliki 2 sertifikat tanah yang dimiliki oleh 2 orang yang berbeda. Secara prinsip setiap bidang tanah memiliki posisi yang tunggal di belahan bumi ini. Tidak ada 2 bidang tanah yang memiliki posisi yang sama. Dengan demikian setiap bidang tanah yang telah bersertifikat atau terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya mendapat perlindungan terhadap pendaftaran yang sama atas bidang tanah tersebut.

Sertifikat ganda atas tanah adalah sertifikat yang diterbitkan oleh BPN yang akibat adanya kesalahan pendataan pada saat melakukan pengukuran dan pemetaan pada tanah, sehingga terbitlah sertifikat ganda yang berdampak pada pendudukan tanah secara keseluruhan ataupun sebagaian tanah milik orang lain.

Apabila dintinjau dari pengertian sertifikat itu sendiri maka sertifikat adalah tanda bukti hak atas tanah, yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut ketentuan peraturan dan perundang-undangan. Sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa seseorang atau suatu badan hukum, mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu.

Pada kenyataannya bahwa seseorang atau suatu badan hukum menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang bersangkutan tidak serta merta langsung membuktikan bahwa ia mempunyai hak atas tanah yang dimaksud. Adanya surat-surat jual beli, belum tentu membuktikan bahwa yang membeli benar-benar mempunyai hak atas tanah yang di belinya. Apalagi tidak ada bukti otentik bahwa yang menjual memang berhak atas tanah yang dijualnya. Dalam konteks inilah terjadi pendudukan tanah secara tidak sah melalui alat bukti berupa dokumen (sertifikat) yang belum dapat dijamin kepastian hukumnya.

Dari pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sertifikat ganda adalah surat keterangan kepemilikan yang diperoleh baik secara sah ataupun tidak sah yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan suatu akibat hukum (sengketa) bagi subjek hak maupun objek hak. Hal ini senada dengan Kartasaputra. bahwa :
Sertifikat dobel/ganda adalah surat tanda bukti kepemilikan hak atas tanah yang diterbitkan oleh lembaga hukum (BPN) yang terbit diatas satu objek hak yang bertindih antara satu objek tanah sebagian atau keseluruhan, yang dapat terjadi suatu akibat hukum. (2005:120).

Dalam pembahasan definisi mengenai Sertifikat ganda sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa yang mendasari sehingga terjadinya sertifikat ganda adalah akibat dari kesalahan pencatatan pada saat petugas melakukan pengukuran dan perpetaan, adapun hal serupa sebagaimana disebutkan Sugiarto mengatakan bahwa : Sertifikat dobel atau ganda adalah sertifikat yang diterbitkan lebih dari satu pada satu bidang tanah oleh Kantor Pertanahan, sehingga mengakibatkan ada kepemilikan bidang tanah hak yang saling bertindih, seluruhnya atau sebagian. (2000: 115).

  1. Bagaimana sertifikat tanah ganda dapat terjadi?

Perlindungan diatas dapat diberikan jika setiap sertifikat atas tanah yang terbit diketahui dengan pasti letak atau lokasinya di muka bumi. Dengan demikian setiap usaha untuk mensertifikatkan tanah yang sama dapat segera diketahui dan dicegah oleh BPN. Namun demikian seperti saya jelaskan pada posting terdahulu mengenai “Mengapa ada tanah bersertifikat yang tidak diketahui letaknya”, masih ada tanah bersertifikat yang tidak diketahui lokasinya yang disebabkan oleh ketidaktersediaan peta.

Padahal peta adalah informasi yang menggambarkan letak seluruh bidang tanah di permukaan bumi. Jika sebuah sertifikat yang diterbitkan tidak dipetakan dalam sebuah peta akibat tidak adanya sarana pada saat itu, maka bidang tanah itu memiliki potensi untuk lahir sertifikat ganda. Dalam hal seseorang dengan bukti-bukti tanah yang meyakinkan meminta pembuatan sertifikat di BPN, maka tidak ada tools yang kuat untuk mencegah lahirnya sertifikat ganda.

Ilustrasinya sebagai berikut: Petugas BPN akan meneliti data fisik bidang tanah yang diminta untuk kedua kalinya tersebut dengan melakukan pengukuran bidang tanah. Pada saat pengukuran, petugas akan meminta pemohon sertifikat untuk menunjukkan batas-batas bidang tanahnya. Akan lebih baik jika diketahui dan dikonfirmasi oleh pemilik tanah yang bersebelahan. Pada poin ini pembuatan sertiffikat ganda akan tersandung jika pemegang sertifikat tanah menempati tanah tersebut.

Sebaliknya jika tanah tersebut tidak ditempati atau diterlantarkan maka praktek ini akan lebih mulus melaju tanpa terdeteksi. Langkah kedua adalah petugas melakukan pemetaan hasil pengukuran ke dalam peta. Setelah posisi bidang tanah hasil ukuran dapat diketahui letaknya, petugas akan mengecek apakah pada posisi yang sama telah diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya. Jika ternyata ada, petugas akan memblokir kegiatan penerbitan sertifikat baru yang disinyalir ganda.

Sayangnya jika bidang tanah bersertifikat terdahulu belum dipetakan, petugas akan mengatakan bahwa pada posisi tersebut adalah posisi bebas. Jika ini yang terjadi proses ini akan terus berlanjut hingga penelitian data yuridis termasuk pengumuman terhadap publik bahwa akan diterbitkan sertifikat atas tanah tersebut.

Jika sekali lagi hasil penelitian data yuridis menunjukkan bahwa tidak ada masalah dan tidak claim dari masyarakat (termasuk pemegang sertifikat terdahulu), maka BPN akan menerbitkan sertifikat tanah (lagi) atas bidang tanah yang sama. Terjadilah sertifikat ganda atau tumpang tindih atau overlap yang tidak disadari oleh pemegang sertifikat pertama, BPN dan (kadang-kadang) pemegang sertifikat kedua.

  1. Upaya kita selaku pemegang sertifikat tanah agar tidak timbul sertifikat ganda
  2. Berupaya menggunakan tanah yang kita miliki. Jika tidak untuk ditinggali, maka pastikan digunakan untuk kebutuhan lain atau sekurang-kurangnya dilindungi dalam bentuk pagar keliling.
  3. Bagi para pemegang sertifikat tanah yang penerbitannya sebelum 1997 agar datang ke BPN untuk memastikan bahwa bidang tanah yang tertera di sertifikat telah dimasukkan ke dalam peta pendaftaran BPN. Jika ternyata bidang tanah tersebut belum masuk ke dalam peta BPN, mintalah petugas ukur BPN untuk datang ke lokasi bidang tanah dimaksud untuk melakukan pemetaan atau yang secara teknis disebut Graphical Index Mapping (GIM).

PENUTUP

 

  1. Kesimpulan

            Faktor-faktor penyebab terjadinya sertipikat ganda di Kantor Pertanahan Kota Semarang yaitu karena adanya peta pendaftaran belum terbentuk atau belum lengkap, faktor manusianya baik disebabkan karena human error maupun adanya itikad tidak baik dari pemohon, adanya pemecahan atau pemekaran wilayah, adanya administrasi yang tidak benar di kelurahan dan adanya perubahan tata ruang oleh pemerintah kota. Dari kesemua faktor tersebut diatas disebabkan karena ketidakcermatan dan ketidaktelitian Kantor Pertanahan Kota Semarang dalam memeriksa dan meneliti data fisik dan data yuridis baik secara langsung di lapangan maupun dalam hal penyelidikan riwayat tanah dan penilaian kebenaran alat bukti pemilikan atau penguasaan tanah melalui pengecekan warkah yang ada di Kantor Pertanahan Kota Semarang.

Upaya penyelesaian hukum yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan terhadap timbulnya sertipikat ganda dapat ditempuh dengan 2 cara, yaitu yang pertama kali ditempuh dengan menyelesaikan sengketa melalui Badan Pertanahan Nasional (non litigasi). Untuk menyelesaikan sengketa dilakukan musyawarah antara para pihak yang bersengketa dengan mediator Kantor Pertanahan. Dan cara terakhir yang harus ditempuh apabila musyawarah antara para pihak tidak tercapai, yaitu dengan menyelesaikan sengketa melalui Peradilan.

 

  1. Saran
  1. Hendaknya Kantor Pertanahan dalam rangka pendaftaran tanah mengarah kepada adanya Peta pendaftaran yang lengkap yaitu Peta Tunggal.
  2. Apabila peta dilapangan hanya satu dan lengkap sudah ada kaplingan tidak dapat dilakukan lagi pendaftaran lagi atas bidang tanah yang sama. Dimana peta tersebut harus tertib dan tiap tahun harus dikaji ulang. Selain itu pengukuran juga merupakan hal penting untuk menghindari sertipikat ganda. Dan juga adanya Administrasi pertanahan yang baik.
  3. Dalam penyelesaian sengketa hendaknya sebisa mungkin dilakukan secara musyawarah karena banyak keuntungan yang dapat diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA

Boedi Harsono, 1999. Hukum Agraria Indonesia (Hukum Tanah Nasional), Djambatan Jakarta.

Irawan Soerodjo, 2003. Kapasitas Hukum Atas Tanah di Indonesia, Arkola Surabaya.

Hadi S.T. 2007. Peraturan Pelaksanan Undang-Undang Pertanahan, Harvarindo, Jakarta.

Herman Hermit, 2004. Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda. CV. Mandar Maju, Bandung

——-, 2007. Sertifikat dan Permasalahannya, dan Seri Hukum Pertanahan Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta

——-, 2007. Sertifikat dan Permasalahannya, dan Seri Hukum Pertanahan Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta

http://bachtiarpropertydotcom.wordpress.com/2011/02/12/manfaat-sertifikat tanah/

http://erestajaya.blogspot.com/2008/11/bagaimana-sertifikat-tanah-ganda dapat.

html

Kepastian hukum atas sertifikat tanah sebagai bukti hak kepemilikan atas tanah

v

MAKALAH HUKUM AGRARIA

REVITALISASI FUNGSI SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH
GUNA MENCEGAH TERJADINYA SERTIFIKAT GANDA ATAS TANAH
(Demi Mewujudkan Kepastian Hukum Atas Sertifikat Hak Atas Tanah
Sebagai Bukti Hak Kepemilikan Atas Tanah)

Disusun oleh :

Novi Anggraini Putri 8111413099
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
BAB 1
PENDAHULUAN

1.2 LATAR BELAKANG
Tanah sebagai salah satu sumber daya alam merupakan salah karunia Tuhan Yang Maha esa. Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian, bahkan tanah dan manusia tidak dapat dipisahkan dari semenjak manusia lahir hingga manusia meninggal dunia. Manusia hidup dan berkembang biak serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap manusia berhubungan dengan tanah. Begitu urgennya tanah dalam hubungannya dengan kehidupan manusia, maka oleh Ter Haar (Sri Susyanti, 2010:1) dijelaskan bahwa tanah merupakan temppat tinggal, tanah memberikan kehidupan dan penghidupan, tanah dimana manusia dimakamkan dan hubungannya bersifat magis-religius.
Dalam hukum positif Indonesia, hukum tanah nasional berpedoman pada Undang Undang Pokok Agraria. Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat dengan UUPA, merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia, adapun tujuan dari UUPA itu sendiri sebagaimana yang dicantumkan dalam Penjelasan Umumnya adalah :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Berdasarkan tujuan pokok UUPA tersebut di atas diatur macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh setiap orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain ataupun badan hukum. Menurut Pasal 16 UUPA, hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai dan diberikan kepada setiap orang dan atau badan hukum adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UUPA), sedangkan hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu (paling lama enampuluh tahun), guna perusahaan pertanian (perkebunan), perikanan atau peternakan (Pasal 28), dan hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35).
Terhadap hak-hak atas tanah tersebut di atas, undang-undang mewajibkan kepada pemegang hak untuk mendaftarkannya. Menurut Pasal 19 UUPA, untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Pendaftaran tersebut meliputi pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan haknya, serta pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Berbagai permasalahan timbul mengenai implementasi dari UUPA tersebut. Hak-hak tanah pada khususnya hak milik seringkali terjadi perselisihan karena adanya kasus sertifikat ganda yang kerap kali terjadi di kalangan masyarakat.

1.3 PERUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan pendaftaran atas tanah?
2. Apa yang dimaksud dengan sertifikat hak atas tanah?
3. Apa yang dimaksud dengan sertifikat ganda atas tanah?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui yang dimaksud dengan pendaftaran atas tanah.
2. Mengetahui yang dimaksud dengan sertifikat hak atas tanah.
3. Mengetahui yang dimaksud dengan sertifikat ganda atas tanah.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENDAFTARAN ATAS TANAH

A. Pengertian Pendaftaran Tanah
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk menjamin kepastian hukum diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah R.I. menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 19 UUPA). Adapun peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari Pasal 19 tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai ganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961dan Peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

B. Azas Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.
a) Azas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama para pemegang hak atas tanah.
b) Azas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum.
c) Azas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaran pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan.
d) Azas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksana-annya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari.
e) Azas terbuka dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat.

C. Tujuan Pendaftaran Tanah.
Ada 3 (tiga) tujuan pendaftaran tanah , yaitu :
a) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
b) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar.
c) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Khusus untuk tujuan pendaftaran tanah pertama yaitu untuk memberikan jaminan kepastian hukum, meliputi :
a) Kepastian mengenai subyek hukum hak atas tanah (orang atau badan hukum)
b) Kepastian mengenai letak, batas, ukuran/luas tanah atau disebut kepastian mengenai obyek hak.
c) Kepastian hak atas tanah, yakni jenis/macam hak atas tanah yang menjadi landasan hukum antara tanah dengan orang atau badan hukum.

D. Kegunaan Pendaftaran Tanah.
Pendaftaran tanah mempunyai kegunaan ganda, artinya di samping berguna bagi pemegang hak, juga berguna bagi pemerintah.
a) Kegunaan bagi pemegang hak :
• Dengan diperolehnya sertifikat hak atas tanah dapat memberikan rasa aman karena kepastian hukum hak atas tanah;
• Apabila terjadi peralihan hak atas tanah dapat dengan mudah dilaksanakan;
• Dengan adanya sertifikat, lazimnya taksiran harga tanah relatif lebih tinggi dari pada tanah yang belum bersertifikat;
• Sertifikat dapat dipakai sebagai jaminan kredit;
• Penetapam pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak akan keliru.
b) Kegunaan bagi pemerintah :
• Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah berarti akan menciptakan terselenggarakannya tertib administrasi di bidang pertanahan, sebab dengan terwujudnya tertib administrasi pertanahan akan memperlancar setiap kegiatan yang menyangkut tanah dalam pembangunan di Indonesia.
• Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, merupakan salah satu cara untuk mengatasi setiap keresahan yang menyangkut tanah sebagai sumbernya, seperti pendudukan tanah secara liar, sengketa tanda batas dan lain sebagainya.

E. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Pelaksanaan pendaftaran meliputi kegiatan tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah
a) Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :
• Pengumpulan dan pengolahan data fisik
• Pembuktian hak dan pembukuannya
• Penerbitan sertifikat.
• Penyajian data fisik dan data yuridis.
• Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
b) Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi :
• Pendaftaran peralihan hak dan pembeban hak.
• Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya
Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah pendaftaran tanah yang didasarkan pada suatu rencana kerja pemerintah dan dilaksanakan dalam suatu wilayah yang ditetapkan oleh Menteri, sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah pendaftaran tanah yang dilakukan atas permintaan atau permohonan pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan pendaftaran tanah sedangkan masyarakat (pemegang hak atas tanah) berkewajiban untuk mendaftarkan hak atas tanah tersebut (Pasal 23, Pasal 32 dan {Pasal 38 UUPA).

2.2 SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH

A. Pengertian Sertifikat Hak Atas Tanah
Undang-undang tidak memberikan pengertian yang tegas mengenai sertifikat hak atas tanah. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat adalah adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Kalau dilihat Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, maka sertifikat itu merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
Selanjutnya Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
Selain pengertian sertifikat yang diberikan oleh undang-undang secara otentik, ada juga pengertian serttifikat yang diberikan oleh para sarjana. Salah satunya adalah K. Wantjik Saleh yang menyatakan bahwa sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri.
Dari pengertian di atas penulis berpendapat bahwa sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang dijilid dan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, dimana data tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

B. Prosedur Penerbitan Sertifikat Tanah
Sertifikat hak atas tanah adalah tanda bukti hak atas tanah, yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. dalam proses sertifikasi tanah untuk pertama kali maka melalui pasal 32 Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menjelaskan bahwa :
a) Sertifikat hak atas tanah merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dalam buku tanah hak yang bersangkutan.
b) Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak atas tanah tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak terbitnya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan kepengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Sertifikat hak atas tanah membuktikan, bahwa seseorang atau suatu badan hukum mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu, sedangkan sertifikat hak tanggungan membuktikan, seseorang atau badan hukum, sebagai kreditur mempunyai hak tanggungan atau jaminan atas suatu atau beberapa bidang tanah tertentu.
Berdasarkan hal tersebut di atas dan untuk mengetahui prosedur penerbitan sertifikat hak atas tanah maka dibawah ini ada beberapa cara yang biasa ditempuh oleh pemohon untuk memperoleh sertifikat tanah :
a) Pertama : Pendaftaran tanah dilakukan dengan cara pemohon sertifikat mendatangi kantor pertanahan dan mengajukan permohonan seraya menyerahkan berkas permohonan serta persyaratan kelengkapan seperlunya termasuk surat kuasa dari pemilik (jika pemohon mengurus tanah orang lain) dan membayar sejumlah biaya yang telah ada daftar tarifnya sesuai luas tanah pemohon proses pembayaran berlangsung diloket khusus gedung kantor pertanahan.
b) Kedua : Pemohon menunjukan batas-batas bidang tanah yang di klaim sebagai hak milik dilapangan kepada petugas kantor pertanahan, setelah pemohon menerima surat atau pemberitahuan permintaan untuk itu dari kepala kantor pertanahan.
c) Ketiga : Pemohon mengisi dan menandatangani berita acara mengenai data fisik dan data yuridis hasil pengukuran dan pemeriksaan petugas kantor pertanahan dihadapan petugas kantor pertanahan.
d) Keempat : Pemohon menunggu terbitnya sertifikat hak milik tanah sekurang-kurangnya selama 60 (enam puluh) hari sejak berakhirnya langkah ketiga diatas. Waktu penantian 60 hari tersebut diperlukan oleh kantor pertanahan guna mempublikasikan/ ngumumkan data fisik dan data yuridis bidang tanah pemohon pada papan pengumuman di kantor pertanahan dan kantor desa/kelurahan atau atas biaya dapat diumumkan melalui iklan atau surat kabar daerah.
e) Kelima : Pemohon menerima sertifikat hak milik atas tanah dikantor pertanahan dari pejabat yang berwenang, setelah pemohon sebelumnya menerima surat panggilan atau pemberitahuan dalam bertuk lain dari kantor pertanahan untuk itu.

C. Manfaat Sertifikat Hak Atas Tanah
a) Sebagai alat bukti yang kuat bagi pemiliknya.
Fungsi sertifikat hak atas tanah (hak milik) menurut UUPA merupakan alat bukti yang kuat bagi pemiliknya, artinya bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam buku sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.
Sertifikat sebagai alat bukti yang kuat, tidak sebagai alat bukti mutlak, hal ini berkaitan dengan sistem publikasi yang dianut oleh hukum pertanahan Indonesia baik Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yakni sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
b) Sebagai akte otentik
Sertifikat sebagai akte otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dalam arti bahwa hakim harus terikat dengan data yang disebutkan dalam sertifikat itu selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain.

2.3 SERTIFIKAT GANDA ATAS TANAH

A. Pengertian Ganda Atas Tanah
Sertifikat ganda adalah kejadian dimana sebidang tanah memiliki 2 sertifikat tanah yang dimiliki oleh 2 orang yang berbeda. Secara prinsip setiap bidang tanah memiliki posisi yang tunggal di belahan bumi ini. Tidak ada 2 bidang tanah yang memiliki posisi yang sama. Dengan demikian setiap bidang tanah yang telah bersertifikat atau terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya mendapat perlindungan terhadap pendaftaran yang sama atas bidang tanah tersebut.
Sertifikat ganda atas tanah adalah sertifikat yang diterbitkan oleh BPN yang akibat adanya kesalahan pendataan pada saat melakukan pengukuran dan pemetaan pada tanah, sehingga terbitlah sertifikat ganda yang berdampak pada pendudukan tanah secara keseluruhan ataupun sebagaian tanah milik orang lain.
Apabila dintinjau dari pengertian sertifikat itu sendiri maka sertifikat adalah tanda bukti hak atas tanah, yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah menurut ketentuan peraturan dan perundang-undangan. Sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa seseorang atau suatu badan hukum, mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu.
Pada kenyataannya bahwa seseorang atau suatu badan hukum menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang bersangkutan tidak serta merta langsung membuktikan bahwa ia mempunyai hak atas tanah yang dimaksud. Adanya surat-surat jual beli, belum tentu membuktikan bahwa yang membeli benar-benar mempunyai hak atas tanah yang di belinya. Apalagi tidak ada bukti otentik bahwa yang menjual memang berhak atas tanah yang dijualnya. Dalam konteks inilah terjadi pendudukan tanah secara tidak sah melalui alat bukti berupa dokumen (sertifikat) yang belum dapat dijamin kepastian hukumnya.
Dari pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sertifikat ganda adalah surat keterangan kepemilikan yang diperoleh baik secara sah ataupun tidak sah yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan suatu akibat hukum (sengketa) bagi subjek hak maupun objek hak. Hal ini senada dengan Kartasaputra. bahwa :
Sertifikat dobel/ganda adalah surat tanda bukti kepemilikan hak atas tanah yang diterbitkan oleh lembaga hukum (BPN) yang terbit diatas satu objek hak yang bertindih antara satu objek tanah sebagian atau keseluruhan, yang dapat terjadi suatu akibat hukum. (2005:120).
Dalam pembahasan definisi mengenai Sertifikat ganda sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa yang mendasari sehingga terjadinya sertifikat ganda adalah akibat dari kesalahan pencatatan pada saat petugas melakukan pengukuran dan perpetaan, adapun hal serupa sebagaimana disebutkan Sugiarto mengatakan bahwa : Sertifikat dobel atau ganda adalah sertifikat yang diterbitkan lebih dari satu pada satu bidang tanah oleh Kantor Pertanahan, sehingga mengakibatkan ada kepemilikan bidang tanah hak yang saling bertindih, seluruhnya atau sebagian. (2000: 115).

B. Bagaimana sertifikat tanah ganda dapat terjadi?
Perlindungan diatas dapat diberikan jika setiap sertifikat atas tanah yang terbit diketahui dengan pasti letak atau lokasinya di muka bumi. Dengan demikian setiap usaha untuk mensertifikatkan tanah yang sama dapat segera diketahui dan dicegah oleh BPN. Namun demikian seperti saya jelaskan pada posting terdahulu mengenai “Mengapa ada tanah bersertifikat yang tidak diketahui letaknya”, masih ada tanah bersertifikat yang tidak diketahui lokasinya yang disebabkan oleh ketidaktersediaan peta.
Padahal peta adalah informasi yang menggambarkan letak seluruh bidang tanah di permukaan bumi. Jika sebuah sertifikat yang diterbitkan tidak dipetakan dalam sebuah peta akibat tidak adanya sarana pada saat itu, maka bidang tanah itu memiliki potensi untuk lahir sertifikat ganda. Dalam hal seseorang dengan bukti-bukti tanah yang meyakinkan meminta pembuatan sertifikat di BPN, maka tidak ada tools yang kuat untuk mencegah lahirnya sertifikat ganda.
Ilustrasinya sebagai berikut: Petugas BPN akan meneliti data fisik bidang tanah yang diminta untuk kedua kalinya tersebut dengan melakukan pengukuran bidang tanah. Pada saat pengukuran, petugas akan meminta pemohon sertifikat untuk menunjukkan batas-batas bidang tanahnya. Akan lebih baik jika diketahui dan dikonfirmasi oleh pemilik tanah yang bersebelahan. Pada poin ini pembuatan sertiffikat ganda akan tersandung jika pemegang sertifikat tanah menempati tanah tersebut.
Sebaliknya jika tanah tersebut tidak ditempati atau diterlantarkan maka praktek ini akan lebih mulus melaju tanpa terdeteksi. Langkah kedua adalah petugas melakukan pemetaan hasil pengukuran ke dalam peta. Setelah posisi bidang tanah hasil ukuran dapat diketahui letaknya, petugas akan mengecek apakah pada posisi yang sama telah diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya. Jika ternyata ada, petugas akan memblokir kegiatan penerbitan sertifikat baru yang disinyalir ganda.
Sayangnya jika bidang tanah bersertifikat terdahulu belum dipetakan, petugas akan mengatakan bahwa pada posisi tersebut adalah posisi bebas. Jika ini yang terjadi proses ini akan terus berlanjut hingga penelitian data yuridis termasuk pengumuman terhadap publik bahwa akan diterbitkan sertifikat atas tanah tersebut.
Jika sekali lagi hasil penelitian data yuridis menunjukkan bahwa tidak ada masalah dan tidak claim dari masyarakat (termasuk pemegang sertifikat terdahulu), maka BPN akan menerbitkan sertifikat tanah (lagi) atas bidang tanah yang sama. Terjadilah sertifikat ganda atau tumpang tindih atau overlap yang tidak disadari oleh pemegang sertifikat pertama, BPN dan (kadang-kadang) pemegang sertifikat kedua.

C. Upaya kita selaku pemegang sertifikat tanah agar tidak timbul sertifikat ganda
a) Berupaya menggunakan tanah yang kita miliki. Jika tidak untuk ditinggali, maka pastikan digunakan untuk kebutuhan lain atau sekurang-kurangnya dilindungi dalam bentuk pagar keliling.
b) Bagi para pemegang sertifikat tanah yang penerbitannya sebelum 1997 agar datang ke BPN untuk memastikan bahwa bidang tanah yang tertera di sertifikat telah dimasukkan ke dalam peta pendaftaran BPN. Jika ternyata bidang tanah tersebut belum masuk ke dalam peta BPN, mintalah petugas ukur BPN untuk datang ke lokasi bidang tanah dimaksud untuk melakukan pemetaan atau yang secara teknis disebut Graphical Index Mapping (GIM).
PENUTUP

A. Kesimpulan
Faktor-faktor penyebab terjadinya sertipikat ganda di Kantor Pertanahan Kota Semarang yaitu karena adanya peta pendaftaran belum terbentuk atau belum lengkap, faktor manusianya baik disebabkan karena human error maupun adanya itikad tidak baik dari pemohon, adanya pemecahan atau pemekaran wilayah, adanya administrasi yang tidak benar di kelurahan dan adanya perubahan tata ruang oleh pemerintah kota. Dari kesemua faktor tersebut diatas disebabkan karena ketidakcermatan dan ketidaktelitian Kantor Pertanahan Kota Semarang dalam memeriksa dan meneliti data fisik dan data yuridis baik secara langsung di lapangan maupun dalam hal penyelidikan riwayat tanah dan penilaian kebenaran alat bukti pemilikan atau penguasaan tanah melalui pengecekan warkah yang ada di Kantor Pertanahan Kota Semarang.
Upaya penyelesaian hukum yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan terhadap timbulnya sertipikat ganda dapat ditempuh dengan 2 cara, yaitu yang pertama kali ditempuh dengan menyelesaikan sengketa melalui Badan Pertanahan Nasional (non litigasi). Untuk menyelesaikan sengketa dilakukan musyawarah antara para pihak yang bersengketa dengan mediator Kantor Pertanahan. Dan cara terakhir yang harus ditempuh apabila musyawarah antara para pihak tidak tercapai, yaitu dengan menyelesaikan sengketa melalui Peradilan.

B. Saran
1. Hendaknya Kantor Pertanahan dalam rangka pendaftaran tanah mengarah kepada adanya Peta pendaftaran yang lengkap yaitu Peta Tunggal.
2. Apabila peta dilapangan hanya satu dan lengkap sudah ada kaplingan tidak dapat dilakukan lagi pendaftaran lagi atas bidang tanah yang sama. Dimana peta tersebut harus tertib dan tiap tahun harus dikaji ulang. Selain itu pengukuran juga merupakan hal penting untuk menghindari sertipikat ganda. Dan juga adanya Administrasi pertanahan yang baik.
3. Dalam penyelesaian sengketa hendaknya sebisa mungkin dilakukan secara musyawarah karena banyak keuntungan yang dapat diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA

Boedi Harsono, 1999. Hukum Agraria Indonesia (Hukum Tanah Nasional), Djambatan Jakarta.
Irawan Soerodjo, 2003. Kapasitas Hukum Atas Tanah di Indonesia, Arkola Surabaya.
Hadi S.T. 2007. Peraturan Pelaksanan Undang-Undang Pertanahan, Harvarindo, Jakarta.
Herman Hermit, 2004. Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah Pemda. CV. Mandar Maju, Bandung
——-, 2007. Sertifikat dan Permasalahannya, dan Seri Hukum Pertanahan Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta
——-, 2007. Sertifikat dan Permasalahannya, dan Seri Hukum Pertanahan Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta
http://bachtiarpropertydotcom.wordpress.com/2011/02/12/manfaat-sertifikat tanah/
http://erestajaya.blogspot.com/2008/11/bagaimana-sertifikat-tanah-ganda dapat.
html

Kepastian hukum atas sertifikat tanah sebagai bukti hak kepemilikan atas tanah

 

 

PROSEDUR TATA CARA BERACARA PHPU DI MAHKAMAH KONSTITUSI

PROSEDUR TATA CARA BERACARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI

 

  1. Isi Permohonan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU MK dijelaskan bahwa permohonan PHPU adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Kepala Daerah, PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan PMK Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Menurut PMK tersebut permohonan PHPU adalah pengajukan keberatan oleh peserta Pemilihan Umum terhadap penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah.

Setidak-tidaknya dalam permohonan berperkara di Mahkamah Konstitusi harus terdapat tiga elemen penting yang terdapat dalam permohonan. Ketiga pokok tersebut merupakan syarat formil dan materil sebuah permohonan. Pada perkara PHPU, permohonan terkait PHPU juga harus dicantumkan dalam permohonan tiga hal tersebut [Pasal 31 ayat (1) UU MK], yaitu:

  • Identitas Pemohon dan Termohon yang dituju
  • Posita/pundamentum petendi
  • Petitum

Syarat formil tersebut memuat identitas para pihak. Apabila terdapat kekeliruan dalam mencantumkan pihak-pihak, maka dapat menyebabkan permohonan mengalami error in persona. Kekhilafan tersebut dapat menyebabkan permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Permohonan Pemohon harus mencantumkan identitas dirinya. Berupa nama, tempat/tanggal lahir, agama, pekerjaan, alamat. Apabila Pemohon memberikan kuasa pada seseorang untuk bertindak di dalam dan di luar persidangan atas nama Pemohon, maka pemberian kuasa tersebut harus dicantumkan dalam permohonan dengan dilampirkan surat kuasa tersebut dalam pendaftaraan permohonan di MK. Istimewanya, dalam beracara di MK, kuasa hukum Pemohon tidak harus seorang advokat. Pemohon dapat saja memberikan kuasa kepada seseorang yang bukan advokat yang menurut Pemohon mampu membela kepentingannya.

Hal lain yang perlu dimaktubkan dalam permohonan PHPU oleh Pemohon adalah penjelasan mengenai identitas sebagai peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD, calon anggota DPD, pasangan calon dalam Pemilu Kepala Daerah, atau pasangan calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Sedangkan syarat materiil mengharuskan permohonan tersebut mencantumkan dua hal yaitu, mengenai pokok persoalan (posita) dan alasan-alasan keberatan terhadap penetapan hasil Pemilu bersangkutan dan petitum (tuntutan). Posita dalam konsep gugatan pada hukum acara Perdata dan hukum acara tata usaha negara terbagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu:

  • Pengungkapan kejadian-kejadian empiris
  • Ketentuan-ketentuan mengenai hukum dan/atau teori yang mendukung alasan

Sesuai dengan bentuk isi posita, maka dalam perkara PHPU isi posita sebagaimana dalam beracara perdata dan tata usaha negara tersebut juga menjadi bentuk yang lumrah dalam beracara di Mahkamah Konstitusi termasuk juga dalam perkara PHPU. Hanya saja dalam acara perdata di Indonesia menganut konsep individualisering theorie, di mana di dalam posita dicantumkan hal-hal yang relevan dengan permohonan. Dalam beracara di Mahkamah Konstitusi dianut konsep substantiering theorie, di mana di dalam permohonan dikemukakan mengenai kronologis dari awal hingga akhir terjadinya permasalahan yang dapat memengaruhi hakim dalam pertimbangannya.

Konsep substantiering theorie tersebut juga seringkali digunakan dalam perkara PHPU. Apabila Pemohon tidak lengkap dalam mengemukakan runtutan peristiwa dalam permohonannya, maka biasanya dalam sidang panel, hakim panel akan memberikan masukan agar permohonan lebih menjelaskan hal-hal atau permasalahan yang terjadi. Pasal 75 UU MK menjelaskan mengenai hal-hal yang wajib dikemukakan dalam permohonan, selengkapnya pasal tersebut berbunyi:

            “Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:

  • Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon; dan
  • Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.”

Oleh karena itu dalam permohonan akan dijelaskan secara mendetail awal proses Pemilu hingga hasilnya. Itulah sebabnya dalam permohonan PHPU, Pemohon menjelaskan kapan dia mendaftar selaku calon, penetapannya, kampanye, dan segala hal yang dianggap terkait serta mampu meyakinkan hakim untuk memutuskan sesuai permohonan Pemohon.

Selanjutnya, dalam permohonan harus pula dicantumkan mengenai petitum, yaitu hal yang diminta untuk diputus oleh Mahkamah. Dalam sengketa PHPU petitum juga berisi permintaan agar Mahkamah memerintahkan Termohon untuk melakukan suatu hal. Sehingga dapat saja atas dasar permohonan Mahkamah memerintahkan Termohon (KPU dan jajarannya di daerah) untuk melaksanakan penghitungan suara ulang atau bahkan pemungutan suara (Pemilu) ulang.Permohonan tersebut berdasarkan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 harus diajukan dalam bahasa Indonesia dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh Pemohon, yaitu Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari Dewan Pimpinan Pusat atau nama sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu DPR dan DPRD atau kuasanya, atau partai politik lokal, atau calon anggota DPD peserta Pemilu, dan atau kuasanya untuk Pemilu DPD, atau pasangan calon untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilukada atau kuasanya.

Posita dalam permohonan PHPU harus mencantumkan peristiwa (materiele gebeuren) yang melandasi permohonan. Kesalahan proses Pemilu yang seperti apa yang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan penghitungan suara yang berakibat mempengaruhi hasil Pemilu. Termasuk pula yang dipersoalkan adalah penetapan hasil Pemilu oleh KPU, dan/atau penetapan oleh KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP provinsi, serta KIP kab/ kota.

Permohonan PHPU juga dapat mempermasalahkan perbuatan melawan hukum (onrechmatige overheidsdaad) KPU sepanjang perbuatan tersebut dianggap Pemohon dapat memengaruhi hasil penghitungan suara. Terkait dengan permohonan demikian itu, MK secara tidak langsung dapat memasuki ranah administrasi pembuatan penetapan oleh KPU tersebut. MK dapat menilai bahwa pejabat penyelenggara Pemilu menyalahgunakan kewenangan (detorunament de pouvoir) dalam pelaksanaan Pemilu. Penyalahgunaan tersebut oleh MK dianggap telah menyebabkan memengaruhi hasil suara signifikan dalam Pemilu dan merupakan perbuatan yang sewenang-wenang (abus de droit). MK dapat kemudian membatalkan hasil Pemilu diakibatkan penyalahgunaan kewenangan tersebut sesuai dengan semangat perlindungan konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu.

Dalam pelbagai hukum acara, baik perdata dan tata usaha negara, alasan tersebut yang biasa disebut dalil-dalil permohonan. Dalil-dalil tersebut haruslah memuat alasan (feiten) yang layak dalam menuntut (onderwerp van den eis) yang menjelaskan terjadinya perselisihan suara yang menyebabkan perubahan signifikan hasil Pemilu dan perolehan kursi (dalam hal Pemilu legislatif). Petitum (eis) atau tuntutan harus sejalan dengan posita. Terkait perkara PHPU, maka petitum berupa permintaan untuk membatalkan hasil Pemilu dan/atau meminta pelaksanaan penghitungan suara ulang atau Pemilu ulang. Pemohon juga dapat meminta untuk penetapan jumlah suara yang sesuai dengan posita permohonan, sehingga dalam hal ini MK juga menentukan penghitungan suara yang benar (seharusnya) yang diperoleh oleh Pemohon atau pihak-pihak terkait lainnya.

  1. Para Pihak
  • Pemohon

Terkait dengan para Pemohon dalam persidangan MK (tidak hanya PHPU), tidak semua orang dan/atau kelompok, serta lembaga negara tertentu dapat mengajukan diri selaku Pemohon. Menurut Maruarar Siahaan tidak cukup dengan adanya kepentingan hukum saja seseorang dan/ atau kelompok tertentu, serta lembaga negara dapat menjadi Pemohon. Harus terdapat alasan dalam melakukan permohonan. Alasan tersebut lumrah disebut dengan istilah kedudukan hukum (legal standing). Maruarar Siahaan menyebut banyak istilah yang mempunyai makna seragam dengan legal standing, misalnya, personae standi in judicio, standing to sue, dan hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan. Pada putusan Nomor 029/PHPU.A-II/2004 yang merupakan putusan PHPU pertama belum dipaparkan mengenai legal standing Pemohon. Terkait legal standing tersebut MK hanya menyatakan, “Pemohon telah memiliki kapasitas sebagaimana ditentukan oleh Pasal 74 ayat (1) huruf a UU MK”. Sehingga pada mulanya dalam putusan PHPU, pemaparan yang jelas mengenai legal standing tidak terdapat di dalam amar putusan.

Keberadaan ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU MK tersebut membuat terjadinya perkembangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait PHPU di mana akan terdapat pertimbangannya yang menjelaskan mengenai legal standing Pemohon. Dengan mengurai legal standing Pemohon dalam putusannya, maka akan terlihat baik oleh para pihak dalam perkara alasan yang melatarbelakangi Mahkamah Konstitusi menerima atau tidak legal standing Pemohon.

Konsep para pihak dalam PHPU menyerupai konsep yang dianut dalam hukum acara perdata dalam perselisihan keperdataan. Terdapat 2 (dua) pihak dalam sengketa keperdataan sebagaimana diatur dalam Pasal 123 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), yaitu: pertama, pihak materiil adalah orang yang langsung memiliki hak dan kepentingan. Kedua pihak formiil adalah pihak yang menghadap ke muka pengadilan dikarenakan kepentingan orang lain. Pihak formil tidak termasuk pengacara atau kuasa hukum karena keberadaannya di dalam peradilan terjadi dikarenakan sebuah perjanjian. Pihak materiil dalam hukum acara perdata adalah para Penggugat, Tergugat, dan Turut Tergugat. Penggugat adalah orang yang merasa bahwa haknya dilanggar, sedangkan Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang, sedangkan pihak formil dapat berupa saksi-saksi yang kehadirannya di muka pengadilan adalah demi kepentingan pihak-pihak.

Jika kemudian diperhatikan pula konsep para pihak dalam konsep Hukum Acara Tata Usaha Negara maka dapat diperhatikan ketentuan Pasal 53 UU Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pasal a quo menyatakan bahwa hanya seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga Penggugat adalah orang yang dirugikan akibat keberadaan putusan tata usaha negara, sedangkan Tergugat adalah pihak yang mengeluarkan putusan tata usaha negara tersebut.

Memperhatikan konsep pihak-pihak dalam hukum acara perdata dan hukum acara tata usaha negara tersebut, maka dapat diperbandingkan dengan pihak-pihak dalam hukum acara perselisihan hasil Pemilu. Pada dasarnya para pihak yang ada dalam sengketa PHPU memiliki kesamaan dengan para pihak dalam sengketa keperdataan dan juga sengketa tata usaha negara. Namun untuk memahami para pihak dalam PHPU di MK, maka terlebih dahulu dibahas mengenai konsep legal standing. Dalam hal perkara perselisihan hasil Pemilu, Mahkamah menggunakan dasar hukum pada Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 7 UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, di mana dinyatakan dalam ketentuan tersebut bahwa peserta Pemilu adalah partai politik. Kemudian Mahkamah Konstitusi menjelaskan melalui Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK Nomor 16 Tahun 2009 bahwa yang menjadi pihak dalam perselisihan hasil Pemilu anggota DPR adalah partai politik peserta Pemilu. Posisi para pihak untuk memperjuangkan haknya (handelingsbekwaamheid) itu merupakan hal penting dalam menentukan kedudukan hukumnya. Pihak-pihak yang dianggap tidak memiliki kepentingan untuk bersengketa (personae miserabiles) dianggap tidak memiliki kedudukan hukum dalam bersengketa. Lebih lanjut Maruarar menjelaskan dalam konsep peradilan di Amerika terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi agar sebuah permohonan memiliki legal standing. Tiga syarat tersebut adalah Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan pemohon yang dilindungi secara hukum yang memiliki 2 (dua) sifat, yaitu; spesifik (khusus) dan aktual dalam menimbulkan kerugian (bukan potensial); Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya satu undang-undang (hal ini terkait pengujian konstitusionalitas undang-undang); Kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, maka kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan.

Terkait dengan terdapatnya kepentingan Pemohon yang dirugikan dalam PHPU, dalam konsep hukum acara tata usaha negara juga dikenal dengan kepentingan Penggugat yang dirugikan. Sehubungan dengan kata ”kepentingan yang dirugikan” tersebut, Indroharto menjelaskan bahwa ”kepentingan” adalah sesuatu yang memiliki nilai, baik material maupun nonmaterial, yang merupakan milik individu atau organisasi yang harus dilindungi hukum. Kepentingan tersebut menurut Indroharto harus pula bersifat personal dan pribadi bagi pemiliknya dan nilainya dapat ditentukan secara objektif.

Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD

 

Pasal 74 ayat (1) UU MK menjelaskan siapa saja yang dapat menjadi Pemohon dalam perkara PHPU DPR, DPD, dan DPRD. Dalam hal Pemilu DPR dan DPRD para Pemohon adalah partai politik peserta pemilihan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) huruf c UU MK. Permohonan yang diajukan didasari kepada ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PHPU Legislatif). Selengkapnya pasal tersebut berbunyi sebagai berikut;

”Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh;

  • Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau nama yang sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu atau kuasanya;
  • Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan atau nama yang sejenisnya dari partai politik lokal atau kuasanya.

Sehingga para Pemohon yang merupakan anggota partai politik atau pengurus daerah dari partai politik tertentu tidak dapat secara langsung mengajukan permohonan tanpa melalui pimpinan pusat partainya. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi maka legal standing Pemohon akan dipertanyakan dan MK dapat memutuskan permohonan tidak dapat diterima, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 77 ayat (1) UU MK.

Walaupun mengenai ketentuan permohonan ditandatangani oleh pimpinan pusat partai politik tersebut tidak terdapat dalam ketentuan Pasal 74 juncto Pasal 77 ayat (1) UU MK yang terkait dengan sebab tidak diterimanya permohonan, namun ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 harus dianggap satu bagian tidak terpisah dari ketentuan UU a quo. Sehingga apabila ketentuan yang diatur Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 dalam hal tidak terdapat tanda tangan pimpinan partai politik bersangkutan, maka MK akan memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

Persyaratan yang tidak diatur dalam UU MK tersebut perlu secara teknis diatur MK dikarenakan apabila seluruh anggota partai dan/atau pimpinan partai politik di daerah diperbolehkan untuk mendaftarkan permohonan maka akan terjadi kerumitan perkara di MK. Bayangkan apabila 3 orang anggota partai politik yang sama namun berbeda pendapat dalam hal melihat hasil Pemilu, maka di MK terkesan akan menyelesaikan sengketa internal partai politik dalam hasil Pemilu, sehingga terjadi penumpukan perkara yang tidak perlu dibatasi dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009. Namun apabila terdapat sesama anggota partai politik tertentu yang juga mempertanyakan hasil Pemilu yang diperoleh rekan partainya, maka ia dapat masuk sebagai Pihak Terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 16 PMK Nomor 16 Tahun 2009.

            Pemohon Perselisihan Hasil Pemilukada

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PMK 15/2008) merupakan regulasi yang mengatur mengenai sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pemilukada). Pasal 1 angka 9 PMK 15/2008 menyebutkan bahwa Pemohon adalah pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah peserta Pemilukada.

Pasal 3 mengatur mengenai para pihak yang memiliki kepentingan langsung dalam hasil perselisihan hasil Pemilukada. Salah satu yang memiliki kepentingan langsung tersebut adalah para pihak yang mencalonkan diri dalam Pemilukada. Terkait dengan keberadaan Pemohon, hal itu diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf a yang menyebutkan bahwa pasangan calon sebagai Pemohon. Pemohon dapat diwakilkan dan/atau didampingi oleh kuasa hukumnya yang dibuktikan dengan surat kuasa khusus dari Pemohon.

  • Termohon dan Turut Termohon

Termohon Perselisihan Hasil Pemilukada

Perselisihan hasil Pemilukada yang berlangsung di daerah menjadikan pihak-pihak yang bersengketa pada dasarnya juga berada pada ranah lokal. Termasuk pula pihak Termohon. Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 3 ayat (1) huruf a PMK 15/2008 menjelaskan bahwa Termohon adalah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilukada.

            Pihak Terkait

Pihak terkait dalam PHPU adalah orang yang berpendapat bahwa kepentingannya terkait dengan permohonan Pemohon. Dalam hukum acara perdata dikenal istilah pihak ketiga yang keikutsertaannya dalam persidangan disebut dengan intervensi. Apabila keikutsertaan pihak ketiga tersebut menguatkan posisi pihak Penggugat (eiser, plaintiff) atau Tergugat (gedaagde, defendant) maka intervensi itu disebut voeging. Namun apabila pihak ketiga ”hadir” dalam persidangan dikarenakan untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri, intervensi itu disebut tussenkomst.

Konsep yang sama juga diterapkan dalam peradilan tata usaha negara, dimana pihak ketiga yang melakukan intervensi dapat pula membela dirinya sendiri atau bergabung kepada salah satu pihak yang bersengketa. Hakim dalam perkara sengketa tata usaha negara dapat mengambil inisiatif untuk intervensi agar pihak ketiga dilibatkan dalam persidangan.

Keterlibatan pihak lain dalam PHPU juga terjadi, di mana Panitera ataas perintah hakim akan memberitahukan pihak-pihak yang akan terkait dengan perkara, sehingga pihak-pihak tersebut dapat mempersiapkan diri untuk terlibat dalam sengketa. Hal itu juga dikenal dalam acara perdata, dimana di dalam Reglement Rechtsvordering diatur mengenai pemanggilan pihak ketiga dalam suatu proses untuk menanggung (vrijwaren) apa yang digugat oleh Penggugat.613 Sehingga dalam perkara PHPU di MK pemanggilan Pihak Terkait juga difungsikan agar pihak tersebut siap untuk menanggung konsekuensi dari Putusan Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang dapat saja merugikan Pihak Terkait.

Dua jenis kepentingan kehadiran pihak ketiga dalam hukum acara perdata dan hukum acara tata usaha negara tersebut sesungguhnya juga sama dengan keikutsertaan Pihak Terkait dalam perkara PHPU. Pihak Terkait dalam PHPU dapat terlibat dalam sengketa dikarenakan untuk menguatkan permohonan Pemohon atau juga menguatkan putusan KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP provinsi, KIP kabupaten/kota. Namun dapat pula keterlibatan Pihak Terkait dalam sengketa hanya untuk memperjuangkan kepentingannya.

            Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilukada

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) PMK 15/2008, yang berhak menjadi Pihak Terkait adalah pasangan calon selain Pemohon dapat menjadi pihak terkait. Sebagaimana juga dengan Pemohon, maka bila mereka diwakilkan atau menguasakan diri kasus melampirkan surat kuasa khusus.

  • Objek Permohonan (objectum litis)

Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilukada

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 PMK 15/2008, objek permohonan dalam perkara Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon, yaitu KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilukada. Hasil penghitungan suara yang menjadi objek perselisihan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 4 PMK 15/2008 disebutkan, yang mempengaruhi:

  • penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada; atau
  • terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
  • Pembuktian dan Alat Bukti

Dalam PHPU, alat bukti sangat penting dalam memberikan keyakinan bagi hakim untuk menentukan putusannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 PMK 16/2009 alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilu terdiri dari:

  • surat atau tulisan;
  • keterangan saksi;
  • keterangan ahli;
  • keterangan para pihak;
  • petunjuk; dan
  • informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik

Alat bukti surat atau tulisan berdasarkan ketentuan Pasal 11 PMK 16/2009 adalah yang memiliki keterkaitan langsung dengan objek perselisihan hasil Pemilu yang dimohonkan ke MK.

Alat bukti surat atau tulisan tersebut terdiri dari:

  • berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD di Tempat Pemungutan Suara (TPS);
  • berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK);
  • berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU kabupaten/kota;
  • berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD kabupaten/kota;
  • berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU provinsi;
  • berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD provinsi;
  • berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU
  • berita acara dan salinan penentapan hasil penghitungan suara secara nasional anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU;
  • salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuataan hukum tetap yang mempengaruhi perolehan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota; dan
  • dokument tertulis lainnya.

Bukti surat atau tulisan tersebut harus diajukan sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang aslinya dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan dan Tenggang Waktu Putusan

Mengenai tenggang waktu (daluarsa) diatur pula dalam hukum acara peradilan tata usaha. Daluarsa tersebut adalah batasan waktu dalam mengajukan permohonan. Ketentuan mengajukan permohonan dalam perkara PHPU juga dibatasi, baik dalam PHPU legislatif, PHPU Presiden maupun PHPU Kepala Daerah

            Tenggang Waktu PHPU Kepala Daerah

 

Pasal 5 ayat (1) PMK 5/2008 Permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pemilukada harus diajukan ke Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah bersangkutan. Permohonan yang melewati batas waktu tersebut tidak dapat diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi di Mahkamah Konstitusi. [Pasal 5 ayat (2) PMK 5/2008]. Apabila permohonan sesuai tenggang waktu yang ditentukan, maka setelah teregistrasi dan mengikuti proses persidangan, Mahkamah wajib memutus perkara tersebut paling lambat 14 (empat belas) hari sejak permohonan terdaftar dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. [Pasal 13 ayat (1) PMK 5/2008].

  • Proses Persidangan dan Pembuktian

Tahapan persidangan di Mahkamah Konstitusi baru akan dimulai setelah permohonan Pemohon diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Akta Penerimaan Berkas Permohonan (APBP), dan diregistrasi, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Akta Registrasi Perkara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (3) UU MK, permohonan perselisihan hasil pemilihan umum hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (1) PMK No. 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PMK 16/2009) dan Pasal 5 ayat (1) PMK No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PMK 17/2009). Sedangkan untuk PHPU Kepala Daerah diatur lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMK 15/2008), yaitu permohonan diajukan ke Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah yang bersangkutan. Apabila permohonan diajukan melampaui tenggang waktu sebagaimana ditentukan ketentuan di atas, Panitera Mahkamah Kontitusi akan menerbitkan Akta Tidak Diregistrasi.

Jika permohonan Pemohon dianggap telah lengkap dan memenuhi persyaratan, Panitera Mahkamah Konstitusi akan menerbitkan Akta Registrasi Perkara dan mencatatnya dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), namun apabila permohonan Pemohon tidak lengkap dan tidak memenuhi persyaratan, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) PMK 16/2009 dan Pasal 6 ayat (3) PMK 17/2009, Pemohon diberikan kesempatan memperbaikinya dalam tenggat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah tenggat pengajuan permohonan, sedangkan untuk PHPU Kepala Daerah, berdasarkan Pasal 7 ayat (3) PMK 15/2008, Pemohon dapat melakukan perbaikan sepanjang masih dalam tenggat mengajukan permohonan.

Kelengkapan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pemohon dalam permohonannya yaitu:

Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat kuasa khusus dari Pemohon [Pasal 6 ayat (1) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (2) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat (2) PMK 17/2009]; Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat, a. identitas Pemohon yang dilengkapi fotokopi KTP dan bukti sebagai peserta pemilu; b. uraian yang jelas mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon (posita); dan c. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon (petitum) [Pasal 6 ayat (2) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (4) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat (3) PMK 17/2009]; permohonan yang diajukan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung [Pasal 6 ayat (3) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (5) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat (4) PMK 17/2009].

Panitera mengirimkan salinan permohonan yang sudah dicatat dalam BRPK kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan untuk PHPU Legislatif [Pasal 7 ayat (3) PMK 16/2009] dan PHPU Kepala Daerah [Pasal 7 ayat (5) PMK 15/2008], sedangkan untuk PHPU Presiden, Panitera mengirimkan salinan permohonan yang sudah diregistrasi kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan [Pasal 6 ayat (4) PMK 17/2009].

Penentuan hari sidang pertama dan pemberitahuan kepada pihak-pihak dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak registrasi untuk PHPU Kepala Daerah [Pasal 7 ayat (5) PMK 15/2008], untuk PHPU Legislatif, Mahkamah menentukan hari sidang pertama dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK dan penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada Pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan [Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6) PMK 16/2009], sedangkan untuk PHPU Presiden, hari sidang pertama diselenggarakan setelah 3 (tiga) hari terhitung sejak permohonan diregistrasi dan pemberitahuan hari sidang pertama kepada Pemohon dan KPU paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum persidangan [Pasal 6 ayat (5) dan ayat (6) PMK 17/2009].

Persidangan di MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Persidangan MK selalu diawali dengan pemeriksaan pendahuluan yang lumrah disebut sidang panel. Pasal 28 ayat (4) UU MK memperbolehkan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk hakim panel yang terdiri sekurang-kurangnya tiga orang hakim konstitusi. Pembentukan panel hakim ini bukanlah sebuah keharusan karena ketentuan Pasal 28 ayat (4) tersebut hanya menyatakan bahwa Mahkamah “dapat membentuk panel hakim” sebelum dilaksanakan Pleno. Apabila Mahkamah berpendapat untuk membentuk panel hakim lebih dari tiga maka hal itu dapat saja terjadi. Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim sekurang-kurangnya dihadiri oleh tiga orang Hakim Konstitusi atau Pleno Hakim. Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Panel Hakim atau Pleno Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan dan wajib memberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan. Perbaikan permohonan dapat dilakukan oleh Pemohon dalam jangka waktu paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam untuk PHPU Legislatif [Pasal 8 ayat (3) PMK 16/2009] dan dalam persidangan hari pertama, baik atas kemauan sendiri maupun atas nasihat hakim untuk PHPU Presiden [Pasal 7 ayat (3) PMK 17/2009].

Dalam persidangan MK, setelah melakukan sidang “perbaikan permohonan” yang mendengarkan masukan (nasihat) hakim, kembali dilakukan persidangan panel yang terkait dengan permohonan tersebut. Sidang panel lanjutan tersebut akan memperdengarkan apakah Pemohon telah menerima nasihat dari Mahkamah pada sidang sebelumnya atau tetap bertahan dengan permohonan awalnya. Keberadaan sidang panel lanjutan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan manapun, sehingga proses persidangan tersebut hanya merupakan kebiasaan (convention) yang dilakukan Mahkamah Konstitusi. Pada sidang panel ini Mahkmaah juga mempertanyakan daftar alat bukti yang dilampirkan Pemohon untuk kemudian disahkan sebagai alat bukti. Terkait alat bukti, Pemohon dapat pula melakukan penambahan alat bukti dalam persidangan pleno. Mengenai penambahan tersebut, biasanya Mahkamah Konstitusi akan menanyakan mengenai kemungkinan penambahan alat bukti tersebut.

Pada persidangan selanjutnya, Hakim Mahkamah Konstitusi memperdengarkan permohonan Pemohon yang dibacakan atau dapat pula Pemohon hanya menyampaikan hal-hal pokok (identitas, posita, dan petitum) dari permohonannya di dalam persidangan. Setelah penyampaian tersebut Mahkamah Konstitusi akan memberikan kesempatan kepada Termohon untuk menyampaikan tanggapannya terhadap permohonan Pemohon. Apabila Termohon meminta waktu untuk menjawab permohonan Pemohon dalam persidangan berikutnya, maka Mahkamah Konstitusi akan menentukan sidang berikutnya.

Pada dasarnya proses pemeriksaan persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut;

  • Mendengarkan Permohonan
  • Jawaban Termohon;
  • Keterangan Pihak Terkait;
  • Pembuktian oleh Pemohon, Termohon, Pihak Terkait; dan

Masing-masing pihak di dalam persidangan diminta untuk menghadirkan bukti-bukti terkait dengan perkara. Mahkamah Konstitusi biasanya akan lebih mempertimbangkan pihak-pihak yang mampu menghadirkan alat bukti yang sahih. Dalam hal PHPU, alat bukti sahih tersebut adalah kertas penghitungan hasil suara, baik berupa versi penyelenggara Pemilu, pengawas Pemilu, dan saksi-saksi. Apabila masing-masing kertas penghitungan tersebut dapat dibuktikan keasliannya oleh para pihak, maka Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan sebagai bahan dasar dalam merumuskan putusan.

Persidangan juga memberikan kesempatan bagi para pihak dan saksi-saksi untuk menyampaikan hal-hal terkait dengan perkara. Misalnya, para Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait juga diperbolehkan untuk menghadirkan ahli yang menguatkan permohonannya. Apabila dianggap perlu oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah dapat pula menghadirkan ahli yang dianggap mampu memberikan keterangan terkait perkara.

Jika Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa persidangan telah mencukupi untuk memberikan putusan, maka Mahkamah akan menentukan jadwal pembacaan putusan. Setelah sidang pembacaan putusan, para pihak akan mendapatkan copy putusan yang diserahkan langsung oleh Panitera Mahkamah Konstitusi.

  • Putusan Mahkamah

Untuk menentukan putusan, Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Rapat permusyawaratan tersebut dilakukan setelah pemeriksaan persidangan dianggap cukup. RPH harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hakim konstitusi yang terlebih dahulu mendengarkan hasil rapat panel hakim. Putusan yang diambil melalui RPH tersebut dilakukan secara musyawarah mufakat dengan terlebih dahulu mendengarkan pendapat hukum para hakim konstitusi. Apabila dalam musyawarah mufakat tersebut tidak dapat diperoleh kesepakatan umum, maka akan dilakukan pengambilan keputusan melalui suara terbanyak (voting). Namun apabila di dalam voting tersebut tetap tidak diperoleh suara terbanyak, suara terakhir Ketua Rapat Pleno Hakim Konstitusi menentukan putusan yang dijatuhkan.

Putusan terkait perselisihan hasil Pemilu tersebut kemudian akan dibacakan dalam rapat yang terbuka untuk umum yang amarnya berdasarkan ketentuan Pasal 13 PMK Nomor 15 Tahun 2008 juncto Pasal 15 PMK Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 15 PMK Nomor 17 Tahun 2009 akan berbunyi:

  • Permohonan tidak dapat diterima (niet otvankelijk verklaard) apabila pemohon dan atau permohonan tidak memenuhi syarat;
  • Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah membatalkan (void an initio) hasil penghitungan suara oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar;
  • Permohonan ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan.

Namun apabila Pemohon dalam proses persidangan kemudian menarik permohonannya (Pasal 35 UU MK), maka Mahkamah akan mengeluarkan penetapan. Penetapan oleh peradilan adalah tindakan Mahkamah yang diluar putusan, sebagaimana juga penetapan hari sidang dan lain-lain di luar vonis (putusan). Penarikan permohonan oleh Pemohon berakibat permohonan yang sama tidak dapat diajukan kembali [Pasal 35 ayat (2) UU MK].

Putusan MK bersifat final, bahkan terhadap perkara PHPU juga tidak dikenal upaya lain untuk membatalkan putusan MK. Dalam berperkara di MK juga tidak dikenal dengan upaya perlawanan (verzet) terhadap ketetapan yang diterbitkan oleh MK, baik terhadap ketetapan hari sidang, ketetapan penarikan kembali permohonan, ketetapan Mahkamah tidak berwenang, dan lain-lainnya yang diterbitkan Mahkamah terkait dengan perkara PHPU.

Namun dalam perkembangannya bentuk-bentuk putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil Pemilu mengalami perkembangan. UU MK dan PMK terkait tidak mengenal jenis putusan yang bunyi amarnya menyatakan, ”mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian”. Terdapat pula Putusan Sela, yang terkait eksepsi permohonan Pemohon yang meminta hakim menjatuhkan Putusan Sela apabila kerugian konstitusional terjadi. Namun Hakim dapat saja menganggap bahwa alasan permohonan Pemohon agar hakim menjatuhkan Putusan Sela dinyatakan tidak beralasan hukum sehingga dapat saja ditolak oleh hakim.

Mengenai putusan sela diatur dalam Pasal 8 ayat (4) PMK 5/2008, Pasal 1 angka 19 dan Pasal 9 ayat (5) PMK 16/2009 serta Pasal 1 angka 9 dan PMK 17/2009. Berdasarkan Putusan Sela tersebut, maka Hakim Mahkamah Konstitusi akan menjatuhkan putusan akhir apabila persidangan telah dianggap selesai. Putusan akhir tersebut dianggap merupakan bagian tidak terpisah dari Putusan Sela, sehingga tenggang waktu dalam memutuskan sengketa PHPU tidak terlampaui. Perkembangan lain terkait putusan dalam perkara PHPU adalah pemungutan suara (Pemilu) ulang dan penghitungan suara ulang. Putusan ini pertama kali dijatuhkan dalam perkara Pemilukada Jawa Timur. Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 memerintahkan Termohon (KPU Provinsi Jatim) untuk melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak putusan diucapkan dalam persidangan. Putusan tersebut juga memerintahkan Termohon untuk melakukan penghitungan suara ulang di Kabupaten Pamengkasan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan dalam persidangan. Sejak itu putusan-putusan terkait PHPU banyak yang memerintahkan Termohon untuk melakukan Pemilu ulang ataupun penghitungan suara ulang. Terkait dengan putusan tersebut Mahkamah dalam konsiderannya berpendapat bahwa:

”Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh menilai hasil Pemilukada dan melakukan penghitungan suara ulang dari berita acara atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sebab kalau hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang dibuat oleh Termohon tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan keadilan.”

Dalam banyak putusan, MK mencoba keluar dari penafsiran UU secara sempit tersebut. Konsep putusan tersebut dikenal dengan putusan yang mengedepankan konsep keadilan substantif. Putusan lain, perkara Nomor 47-81/PHPU.A/VII/2009, Mahkamah bahkan memperbolehkan Pemilu perwakilan di Yahukimo, Papua, dimana pencontrengan kertas suara diwakilkan kepada para kepala suku-kepala suku. Mahkamah memutuskan juga bahwa kotak suara digantikan dengan Noken, tas masyarakat adat Papua. Sebagaimana pengujian undang-undang, kewenangan PHPU juga mengedepankan perlindungan konstitusionalitas, di mana penyelenggaraan asas-asas Pemilu dianggap nilai konstitusi yang patut dilindungi. Hal itu menyebabkan putusan MK dalam perkara PHPU juga akan mengalami perkembangan karena nilai-nilai konstitusionalitas Pemilu juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Teori yang mendukung paham itu dikenal dengan the living constitution.

Putusan MK dalam perkara PHPU, sebagaimana juga dengan putusan peradilan perdata, dapat berbentuk declaratoir dan constitutief.614 Putusan yang berbentuk declaratoir itu memberikan kewajiban hukum kepada pihak-pihak. MK dalam perkara PHPU dapat pula memutuskan agar Termohon (KPU) untuk menyelenggarakan penghitungan suara ulang dan/atau pemungutan suara (Pemilu) ulang. Dalam hal tertentu putusan MK dapat berbentuk pula putusan constitutief, di mana putusan MK dapat membentuk keadaan hukum baru. Putusan PHPU pada umumnya menentukan hasil penghitungan suara menurut fakta-fakta yang ditemukan MK dalam persidangan. Sehingga ketika MK menentukan perubahan hasil penghitungan suara sesuai dengan penghitungan MK, maka putusan tersebut telah membentuk keadaan hukum baru. Ketetapan KPU yang menetukan hasil suara yang berhak memperoleh kursi telah diubah oleh putusan MK.

Adapun asas-asas hukum acara Mahkamah Konstitusi yang dijadikan dasar hukum dan pedoman dalam beracara antara lain:

1)      Persidangan Terbuka untuk Umum

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini berlaku secara universal dan berlaku di semua lingkungan peradilan. Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK) menentukan secara khusus bahwa sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Keterbukaan sidang ini merupakan salah satu bentuk social control dan juga bentuk akuntabilitas Hakim. Transparansi dan akses publik secara luas yang dilakukan MK dengan membuka, bukan hanya sidang tetapi juga proses persidangan yang dapat dilihat atau dibaca melalui transkripsi, berita acara dan putusan yang dipublikasikan lewat dunia maya.Tersedianya salinan putusan dalam bentuk hard copy yang dapat diperoleh pihak Pemohon dan Termohon setelah sidang pembacaan putusan yang dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum merupakan interpretasi MK terhadap keterbukaan dan asas sidang terbuka untuk umum tersebut serta sebagai pelaksanaan Pasal 14 UU MK.

2)      Independen dan Imparsial

Pasal 2 UUMK menyatakan bahwa MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pada Pasal 33 UU Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Independensi atau kemandirian tersebut sangat berkaitan erat dengan sikap imparsial atau tidak memihak hakim baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan.Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. Indenpendensi melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan dalam hal ini adalah MK sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkausa, kelompok atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya (dikutip dari bukunya Prof Jimly Asshidiqie “Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara” (hal. 53).Hakim yang tidak independen atau mandiri tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian juga satu Mahkamah yang tergantung pada badan lain dalam bidang-bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Independensi dan imparsialitas merupakan konsep yang mengalir dari doktrin separation of powers (pemisahan kekuasaan) yang harus dilakukan secara tegas agar cabang-cabang kekuasaan negara tidak saling mempengaruhi.

3)      Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana dan Murah

Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjelasan atas ayat (2) tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dialakukan dengan acara yang efisien dan efektif sedangkan biaya murah adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh raktyat. Dalam hukum acara MK tidak dikenal adanya biaya perkara yang dibebankan pada pemohon atau termohon. Semua biaya yang menyangkut persidangan di MK dibebankan pada biaya negara. Menurut Prof. Jimly, ketentuan mengenai biaya perkara dibebankan pada negara alasannya adalah bahwa proses peradilan di lingkungan MK pada pokoknya bukanlah mengadili kepentingan umum atau kepentingan lembaga-lembaga negara yang juga bersifat publik. Karena itu, orang berurusan dengan MK tidak perlu dibebani dengan beban biaya sama sekali. Selain itu, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan MK, lebih baik jika MK dibebaskan dari keharusan berhubungan keuangan dengan pihak lain. Biarlah seluruh kebutuhan MK dibebankan saja kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

4)      Hak untuk Didengar Secara Seimbang (Audi et Alteram Partem)

Dalam perkara yang diperiksa dan diadili di persidangan biasa, baik penggugat maupun tergugat, atau penuntut umum maupun terdakwa mempunyai hak yang sama untuk didengar keterangannya secara berimbang dan masing-masing pihak mempunyai kesempatan yang sama mengajukan pembuktian untuk mendukung dalil masing-masing.Dalam nuansa yang sedikit berbeda, pada pengujian undang-undang maka pemohon dan pemerintah serta DPR maupun pihak yang berkaitan langsung dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji juga diberi hak yang sama untuk didengar. Bahkan stakeholder lain yang merasa mempunyai kepentingan dengan undang-undang yang diuji tersebut harus didengar jika pihak yang terkait tersebut mengemukakan keinginannya untuk memberi keterangan. Setidak-tidaknya memberi keterangan secara tertulis yang wajib dipertimbangkan MK jika keterangan tersebut mengandung nilai yuridis yang dapat membuat jelas permasalahan yang berkaitan denagn prosedur pembuatan undang-undang tersebut maupun muatan materi atau bagian pasal maupun ayat undang-undang yang diuji tersebut.Asas ini berkaitan dengan asas Independen dan Imparsial. Dalam proses perkara, pihak terkait yang tidak secara langsung ikut, keterangannya akan dinilai Mahkamah sebagai ad informabdum. Kegagalan hakim untuk melaksanakan asas ini secara baik akan menimbulkan kesan bahkan tuduhan bahwa hakim atau Mahkamah tidak imparsial bahkan tidak adil. Dalam peradilan biasa hal demikian pun dapat dijadikan alasan untuk membatalkan putusan yang telah dijatuhkan.

5)      Hakim Aktif dan Juga Pasif dalam Proses Persidangan

Asas ini menarik, karena dalam hukum acara MK hakim tidak hanya bersikap pasif saja, tetapi sekaligus harus bersikap aktif. Hal ini karena karakteristik khusus perkara konstitusi yang kental dengan kepentingan umum ketimbang kepentingan perorangan telah menyebabkan proses persidangan tidak dapat diserahkan hanya pada inisiatitif pihak-pihak. Mekanisme constitutional control harus digerakkan pemohon dengan satu permohonan dan dalam hal demikian hakim bersikap pasif dan tidak boleh secara aktif melakukan inisiatif untuk menggerakkan mekanisme MK memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu permohonan. Maka sekali permohonan tersebut didaftar dan mulai diperiksa, disebabkan adanya kepentingan umum yang termuat didalamnya secara langsung maupun tidak langsung akan memaksa hakim untuk bersikap aktif dalam proses dan tidak menguntungkan proses hanya pada inisiatif pihak-pihak, baik dalam rangka menggali keterangan maupun bukti-bukti yang dianggap perlu untuk membuat jelas dan terang hal yang diajukan dalam permohnan tersebut.

6)      “Ius Curia Novit”

Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dengan kata lain bahwa Mahkamah dianggap mengetahui hukum yang diperlukan. Mahkamah tidak dapat menolak memeriksa, mengadili dan memutus setiap perkara yang diajukan dengan alasan bahwa hukum nya tidak ada atau hukumnya kurang jelas.

Meme Pecas Ndahe

Ndoro Kakung

Ahok adalah sinar terang di ujung lorong. Ia harapan warga Jakarta yang kian suram dan ruwet.

Harapan itu membesar setelah DPRD DKI Jakarta hari ini secara resmi menetapkan Basuki T. Purnama alias Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta. Ahok adalah wakil gubernur yang naik karena gubernur sebelumnya, Joko Widodo, menjadi presiden.

Kita tahu Ahok melewati jalan yang terjal sebelum mencapai kursi DKI 1. Berasal dari kaum minoritas, kemunculannya membuat kelompok radikal seperti FPI bagaikan disengat lebah.

FPI menganggap Ahok sebagai batu di tengah jalan yang harus disingkirkan. Maka kelompok minoritas ini pun gencar menolak Ahok.

Tapi sebagian besar warga Jakarta lainnya, the silent majority, ada di belakang Ahok. Dukungan mereka setidaknya muncul di media sosial. Seperti apa bentuk dukungan itu?

View original post 122 more words

Hukum Agraria Kolonial

HUKUM AGRARIA KOLONIAL

  1. Hukum Agraria Kolonial

Dari segi masa berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia di bagi menjadi 2, yaitu:

  1. Hukum Agraria Kolonial
    Hukum Agraria ini berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum di undangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960.
  2. Hukum Agraria Nasional
    Hukum Agraria ini berlaku setelah diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960.

Hukum Agraria Kolonial terbagi menjadi 3 ciri yang dimuat dalam Konsideran UUPA dibawah Perkataan “menimbang” huruf b, c. dan d serta dimuat dalam Penjelasan Umum Anka I UUPA, yaitu:

  • Hukum Agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah-pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentinga rakyat dan Negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.
  • Hukum Agraria tersebut memiliki sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat, di samping Hukum Agraria yang didasarkan atas hukum barat.
  • Bagi rakyat asli Hukum Agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.

Beberapa ketentuan yang menunjukan bahwa hukum dan kebijaksanaan agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi Pemerintahan Hindia Belanda, dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Pada Masa Terbentuknya VOC (Vernidge Oost Indische Compaigne)

VOC (1602-1799) didirikan sebagai badan perdagangan dengan maksud untuk menghindari/mencegah persaingan di antara pedagang Belanda, mendapat monopoli di Asia Selatan, membeli murah dan menjual mahal rempah-rempah sehingga memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindasa rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain:

  1. Contingenten
    Pajak atas hasil pertanian harus diserahkan kepada penguasa colonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sedikitpun.
  2. Verplichte leveranten
    Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban menyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
  3. Roerendiensten
    Kebijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
  4. Pada Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811)

Kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Gubernur Herman Willem Daendles adalah menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah-tanah yang dijual itu dikenal dengan sebutan tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya adalah adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak Pertuanan misalnya:

  • Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-kepala kampung/desa;
  • Hak untuk menuntut keraj paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk;
  • Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk;
  • Hak untuk mendirikan pasar-pasar;
  • Hak untukmemungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
  • Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput bagi keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya.
  1. Pada Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)

Kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles adalah landrent atau pajak tanah.
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, tetapi ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.
  • Kepala desa diberi kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak tanah. Dapat dikurangi jumlahnya atau dicabut penguasaannya jika petani yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang bersangkutan akan diberikan kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.
  • Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur pemilikan tanah rakyat sebagai akibat besarnya kekuasaan kepala desa. Seharusnya luas pemilikan tanahlah yang menentukan besarnya sewa yang wajib dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang menentukan luas tanah yang boleh dikuasai seseorang.
  1. Pada Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch

Pada tahun 1830 Gubernur Johanes van den Bosch menetapkan kebijakan pertanahan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini, petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak langsung dibutuhkan oleh pasar internasional pada waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun. Sedangkan rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk satu tahunnya.

Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luasa dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengolah tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yang bisa disewa adalah tanah-tanah negara yang masih kosong.

  1. Pada Masa Pemerintahan Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55

Dengan berlakunya Agrarische Wet, politik monopoli (politik kolonial konservatif) dihapuskan dan diganti dengan politik liberal yaitu pemerintah tidak mencampuri di bidang usaha, pengusaha diberikan kesempatan dan kebebasan mengembangkan usaha dan modalnya di bidang pertanian di Indonesia.

Agrarische Wet merupakan hasil dari rancangan Wet (undang-undang) yang diajukan oleh Menteri Jajahan de Waal. Agrarische Wet diundangkan dalam Stb. 1870 No. 55, sebagai tambahan ayat-ayat baru pada Pasal 62 Regering Reglement (RR) Stb. 1854 No. 2. semula RR terdri dari 3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai dengan ayat 8) oleh Agrarische wet, maka Pasal 62 RR terdiri atas 8 ayat. Pasal 62 RR kemudian menjadi Pasal 51 Indische Staatsregeling (IS), Stb. 1925 No. 447. isi Pasal 51 IS, adalah sebagai berikut:

  1. Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah.
  2. Dalam tanah di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang tidak diperuntukan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha.
  3. Gubernur jendral dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan hutan, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat pengembalaan umum atas dasar lain merupakan kepunyaan desa.
  4. Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Ordonansi, diberikan tanah dengan Hak Erfpacht selam tidak lebih dari 57 tahun.
  5. Gubernur jendral menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat pribumi.
  6. Gubernur jendral tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat asal pembukaan hutan yang dipergunakan untuk kepentingan sendiri, demikian juga dengan tanah sebagai tempat pengembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali untuk kepentingan umum atas dasar Pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman yang diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan, semuanya dengan pemberian ganti kerugian yang layak.
  7. Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai pribadi yang turun temurun (yang dimaksudkan adalah hak milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadnya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan Ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya, yaitu mengenai kewajibannya terhadap negara dan desa yang bersangkutan, demikian juga mengenai wewenagnya untuk menjualnya kepada bukan pribumi.
  8. Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non-pribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan Ordonansi.
  9. Pada Masa Pemerintahan Agrarische Besluit Stb. No, 118

Ketentuan-ketentuan Agrarische Wet pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit, yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit, Stb. 1870 No. 118. Agrarische Besluit terdiri atas tiga bab, yaitu:

  1. Pasal 1 – 7 tentang hak atas tanah
  2. Pasal 8 – 8b tentang pelapasan tanah, dan:
  3. Pasal 19 – 20 tentang peraturan campuran.

Pada Pasal 1 Agrarische Besluit memuat pernyataan yang dikenal dengan “Domein Verklaring” (pernyataan kepemilikan), yaitu “dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat mebuktikan hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara”.

Asas Domein (domein beginsel) atau pernyataan domein berdasarkan Pasal 20 Agrarische Besluit hanya diberlakukan di Jawa dan Madura. Dengan Stb. 1875 No. 119a, pernyataan domein itu diberlakukan juga untuk daerah luar Jawa dan Madura. [ernyataan yang dimuat dalam Stb. 1870 No. 118 dan Stb. 1875 No. 119a itu bersifat umum (Algemene Domein Verklaring). Di samping itu, juga ada pernyataan domein yang berlaku khusus (Speciale Domein Verklaring), yang berisi: “semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung …. adalah domein negaa, kecuali yang diusahakan oleh para penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak pembukaan hutan. Mengenai tanah-tanah negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya”.

Maksud pernyataan domein khusus tersebut adalah untuk menegaskan agar tidak ada keraguan bahwa satu-satunya penguasa yang berwenag untuk memberikan tanah-tanah yang dimaksudkan itu kepada pihak lain adalah pemerintah. Pernyataan domein khusu berlaku bagi daerah Sumatra diatur dalam Stb. 1874 No. 94f, Manado dalam Stb. 1877 No. 55, dan untuk Kalimantan Selatan/Timur dalm Stb. 1888 No. 58.

Dengan adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindia Belanda (Indonesia) dibag menjadi dua jenis, yaitu:
a.    Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak ada hak penduduk bumi putera.
b.    Onvrijlands Domein atau tanah negara tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya ada hak penduduk maupun desa.

Dalam praktiknya Domein Verklaring mempunyai dua fungsi, yaitu:

  1. Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan hak-barat seperti yang diatur dalam KUH Perdata, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfpacht.
  2. Untuk keperluan pembuktia kepemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara tidak perlu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi pihak lainlah yang wajib membuktikan haknya.

Pada masa berlakunya Domein Verklaring terdapat hak atas tanah yang diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang tidak termasuk ke dalam KUH Perdata. Hak atas tanah itu adalah Hak Agrarische Eigendom, yaitu hak yang berasal dari hak milik adat yang atas permohonan pemiliknya melalui suatu prosedur tertentu diakui keberadaannya oleh pengadilan. Hak ini diatur dalam Koninklijk Besluit Stb. 1872 No. 117 dan Stb. 1873 No. 38.

Pada masa berlakunya Agrarische Besluit, di Kesultanan Yogyakarta juga terdapat ketentuansemacam Domein Verklaring, yang dimuat dalam Rijksblad Yogyakarta tahn 1918 No. 16.

Contoh Kontrak kerja Perusahaan dengan Karyawan

KONTRAK KERJA

Nomer: 123 / 17 / 041996 / 26 / 04 / 2014

 

Yang bertanda tangan di bawah ini:

 

  1. Nama               : Muhammad Richo Agus Anwar

 

        Jabatan            : Manajer Sumber Daya Manusia dan Umum

 

        Alamat              : Jl Brigjen Sudiarto Km 11 SEMARANG 50194

 

Dalam hal ini bertindak atas nama direksi ( PT. Sai Apparel Industries ) yang berkedudukan di (Jalan Brigjen Sudiarto Km 11 SEMARANG 50194) dan selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.

 

 

  1. Nama                                        : Ageng Anindita Pandan Wangi Giri Putri

        Tempat dan tanggal lahir           : Grobogan, 26 Oktober 1984

        Pendidikan terakhir                   : Strata II

        Jenis kelamin                             : Wanita

        Agama                                       : Islam

        Alamat                                       : Jalan Jendral Ahmad Yani No.23, Semarang

        No. KTP / SIM                            : 3308185106950003

        Telepon                                     : 024 67021717

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama diri pribadi dan selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.

 

 

PASAL 1

MASA KERJA

 

Ayat 1

PIHAK PERTAMA menyatakan menerima PIHAK KEDUA sebagai karyawan kontrak 2 ( Dua Tahun ) di perusahaan PT. Sai Apparel Industries yang berkedudukan di Jalan Brigjen Sudiarto Km 11 SEMARANG 50194 dan PIHAK KEDUA dengan ini menyatakan kesediaannya.

Ayat 2

Perjanjian kerja ini berlaku untuk jangka waktu Dua Tahun, terhitung sejak tanggal 23April dan tahun2014 dan berakhir pada tanggal 23, April, dan tahun2016.

Ayat 3

Selama jangka waktu tersebut masing-masing pihak dapat memutuskan

hubungan kerja dengan pemberitahuan secara tertulis minimal 4 ( empat ) hari kerja.

 

PASAL 2

TATA TERTIB PERUSAHAAN

 

Ayat 1

PIHAK KEDUA menyatakan kesediaannya untuk mematuhi serta mentaati seluruh peraturan tata tertib perusahaan yang telah ditetapkan PIHAK PERTAMA.

Ayat 2

Pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut di atas dapat mengakibatkan PIHAK KEDUA dijatuhi:

1. Skorsing, atau

2. Pemutusan Hubungan Pekerjaan (PHK), atau

3. Hukuman dalam bentuk lain dengan merujuk kepada Peraturan

   Pemerintah yang mengaturnya.

 

PASAL 3

JAM KERJA

 

Ayat 1

Berdasarkan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku, jam kerja efektif perusahaan ditetapkan 8 ( Delapan ) jam setiap minggu dengan jumlah hari kerja 5 ( Enam ) hari setiap minggu.

Ayat 2

Jam masuk adalah jam 07.00 ( Tujuh ) dan jam pulang adalah jam 16.00 ( Enam Belas ).

Ayat 3

1. Waktu istirahat pada hari Senin hingga hari Kamis ditetapkan selama 1 ( satu )jam, yaitu pada pukul 12.00 hingga pukul 13.00

2. Waktu istirahat pada hari Jumat ditetapkan selama 2 jam, yaitu pada pukul 11.00 hingga pukul 13.00

 

 

PASAL 4

PENEMPATAN, TUGAS, DAN TANGGUNG JAWAB

 

Ayat 1

PIHAK KEDUA akan bekerja sebagai ( Manajer Sumber Daya Manusia dan Umum) pada PT. Sai Apparel Industries.

Ayat 2

Tugas dan tanggung jawab PIHAK KEDUA adalah sebagai berikut:

  1. Mengkoordinasikan perumusan perencanaan dan pemberdayaan pegawai (man power planning), sesuai kebutuhan Perusahaan. 
  2. Mengkoordinasikan perumusan sistem pengadaan, penempatan dan pengembangan pegawai. 
  3. Mengkoordinasikan perumusan sistem dan kebijakan imbal jasa pegawai dengan mempertimbangkan “internal / external equity“. 
  4. Bersama Manajemen merumuskan pola pengembangan organisasi Perusahaan. 
  5. Menyelenggarakan Sistem Informasi SDM dalam suatu data base Kepegawaian.

Ayat 3

PIHAK PERTAMA berhak menempatkan PIHAK KEDUA dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan lain yang oleh PIHAK PERTAMA dianggap lebih cocok serta sesuai dengan keahlian yang dimiliki PIHAK KEDUA, dengan syarat masih tetap berada di dalam lingkungan perusahaan PT. Sai Apparel Industries.

 

PASAL 5

PERPANJANGAN MASA KONTRAK KERJA

 

Ayat 1

Setelah berakhirnya jangka waktu tersebut, perjanjian kerja ini dapat diperpanjang jika PIHAK PERTAMA masih membutuhkan PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA juga menyatakan kesediaannya.

Ayat 2

Jika setelah berakhirnya perjanjian kerja ke-2 ternyata PIHAK PERTAMA masih membutuhkan PIHAK KEDUA, maka PIHAK PERTAMA akanmengangkat PIHAK KEDUA sebagai karyawan tetap pada perusahaan PT. Sai Apparel Industries.

Ayat 3

Jika setelah berakhirnya perjanjian kerja ke-2 ternyata PIHAK KEDUA tidak diajukan untuk pengangkatan sebagai karyawan tetap oleh PIHAK PERTAMA, maka perjanjian kerja kontrak akan berakhir bersamaandengan berakhirnya waktu perjanjian tersebut.

 

PASAL 6

GAJI POKOK DAN TUNJANGAN-TUNJANGAN

 

Ayat 1

PIHAK PERTAMA harus memberikan gaji pokok kepada PIHAK KEDUA sebesar Rp 2.800.000.00,-( Dua juta delapan ratus ribu rupiah )setiap bulan yang harus dibayarkan PIHAK PERTAMA pada tanggalterakhir setiap bulan setelah dipotong pajak pendapatan sesuai peraturanperpajakan di Indonesia.

Ayat 2

Selain gaji pokok, PIHAK KEDUA juga berhak mendapatkan tunjangan tunjangan sebagai berikut:

1. Tunjangan Transportasi sebesar Rp 320.000.00,- ( Tiga ratus dua puluh ribu rupiah ) bulan

2. Tunjangan Uang Makan sebesar Rp 300.000.00,- ( Tiga ratus ribu rupiah ) / bulan

3. Tunjangan Jamsostek sebesar Rp 2.000.000.00,- ( Dua juta rupiah ) / 2 tahun

Ayat 3

Pembayaran tunjangan-tunjangan tersebut akan disatukan dengan pembayaran gaji pokok yang akan diterima PIHAK KEDUA pada tanggal terakhir setiap bulan.

 

PASAL 7

LEMBUR

 

Ayat 1

PIHAK KEDUA diharuskan masuk kerja lembur jika tersedia pekerjaan yang harus segera diselesaikan atau bersifat mendesak (urgent).

Ayat 2

Sebagai imbalan kerja lembur sesuai ayat 1, PIHAK PERTAMA akan membayar PIHAK KEDUA sebesar Rp setiap jam lembur.

Ayat 3

Pembayaran upah lembur akan disatukan dengan pembayaran gaji yang akan diterima PIHAK PERTAMA pada tanggal terakhir setiap bulan.

PASAL 8

CUTI

 

Ayat 1

Hak cuti timbul setelah PIHAK KEDUA mempunyai masa kerja selama 1 ( satu ) tahun.

Ayat 2

Jika telah mempunyai masa kerja seperti ayat 1 tersebut di atas, maka PIHAK KEDUA akan mendapatkan cuti selama 20 ( dua puluh hari ) hari setiap tahun, yang terdiri dari:

1. Cuti pribadi selama 13 ( Tiga belas ) hari kerja.

2. Cuti bersama selama 7 ( Tujuh ) hari kerja.

Ayat 3

Sebelum melaksanakan cuti, PIHAK KEDUA telah mengajukan permohonan terlebih dahulu secara tertulis, selambat-lambatnya 3 ( Tiga ) hari dengan mendapat pengesahan berupa tanda tangan dan ijin dari atasan langsung yang bersangkutan.

 

PASAL 9

PENGOBATAN

 

PIHAK PERTAMA wajib menanggung biaya pengobatan serta perawatan jika PIHAK KEDUA sakit atau memerlukan perawatan kesehatannya sesuai dengan syarat, peraturan, dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan.

  

PASAL 10

KERJA RANGKAP

 

Ayat 1

Selama masa berlakunya ikatan perjanjian kerja ini PIHAK KEDUA tidak dibenarkan melakukan kerja rangkap di perusahaan lain manapun juga dengan mengemukakan dalih atau alasan apa pun juga.

Ayat 2

Pelanggaran yang dilakukan PIHAK KEDUA akan dapat bagi PIHAK PERTAMA untuk menjatuhkan sangsi sesuai Pasal 2 ayat 2 perjanjian initerhadapnya.

 

PASAL 11

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

 

Ayat 1

Dengan memperhatikan Undang-Undang dan Peraturan Ketenagakerjaan yang berlaku, PIHAK PERTAMA dapat mengakhiri hubungan kerja dengan PIHAK KEDUA karena pengingkaran perjanjian ini.

Ayat 2

Jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maka PIHAK KEDUA diharuskan mengembalikan barang-barang yang selama itu dipercayakanpadanya.

Ayat 3

PIHAK KEDUA juga diharuskan menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan administrasi keuangan, seperti hutang atau pinjaman yang dilakukan PIHAK KEDUA.

 

PASAL 12

PENGUNDURAN DIRI

 

Ayat 1

Jika PIHAK KEDUA mengundurkan diri secara baik-baik, maka PIHAK KEDUA berhak menerima uang gaji, tunjangan, dan lembur sesuaidengan jumlah hari kerja yang telah dijalaninya.

Ayat 2

Pengunduran diri secara baik-baik diperlihatkan dengan cara-cara sebagai berikut:

1. PIHAK KEDUA telah mengajukan surat permohonan pengunduran diri sesuai Pasal 1  ayat 3 perjanjian ini.

2. PIHAK KEDUA tetap melaksanakan tugas dan kewajibannya hingga batas waktu pengunduran dirinya berlaku.

3. PIHAK KEDUA telah menyerahkan barang-barang yang dipercayakan kepadanya dan juga telah menyelesaikan admnistrasi keuangan yang harus diselesaikannya seperti yang tertulis dalam Pasal 11 ayat 2 dan 3 perjanjian ini.

Ayat 3

PIHAK PERTAMA dengan kebijakannya dapat meminta PIHAK KEDUA untuk meninggalkan perusahaan lebih awal dengan pembayaran penuhselama 30 ( Tiga puluh hari tersebut ) hari tersebut.

 

PASAL 13

BERAKHIRNYA PERJANJIAN

 

Selain seperti yang tertulis dalam Pasal 5 ayat 3 perjanjian ini, perjanjian kerja ini akan berakhir dengan sendirinya jika PIHAK KEDUA meninggal dunia.

 

PASAL 14

KEADAAN DARURAT (FORCE MAJEUR)

 

Perjanjian kerja ini batal dengan sendirinya jika karena keadaan atau situasi yang memaksa, seperti: bencana alam, pemberontakan, perang, huru-hara, kerusuhan, Peraturan Pemerintah atau apapun yang mengakibatkan perjanjian kerja ini tidak mungkin lagi untuk diwujudkan.

 

PASAL 15

PENYELESAIAN PERSELISIHAN

 

Ayat 1

Apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, akan diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Ayat 2

Apabila dengan cara ayat 1 pasal ini tidak tercapai kata sepakat, maka kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dilakukan melalui prosedur hukum, dengan memilih kedudukan hukum di Pengadilan Negeri Semarang.

 

PASAL 16

PENUTUP

 

Demikianlah perjanjian ini dibuat, disetujui, dan ditandatangani dalam rangkap dua, asli dan tembusan bermaterai cukup dan berkekuatan hukum yang sama. Satu dipegang oleh PIHAK PERTAMA dan lainnya untuk PIHAK KEDUA.

 

 

 

 

Dibuat di : Semarang

Tanggal : 26 April 2014

 

 

 

PIHAK PERTAMA                                                                                                                                      PIHAK KEDUA

 

 

(Muhammad Richo Agus Anwar)                                                                                                               (Ageng Anindita)

Adat Istiadat Tradisi Syawalan Kupat dan Lepet

 

TRADISI SYAWALAN
Masyarakat Tegowanu Kabupaten Grobogan
Disusun untuk memenuhi Tugas Hukum Adat

Disusun oleh :
Novi Anggraini Putri
( 8111413099 )

 

Universitas Negeri Semarang
2014

TRADISI SYAWALAN

Jawa adalah salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki segudang adat istiadat dan kebudayaan, karena Jawa adalah pusat pemerintahan di Indonesia sejak jaman penjajahan. Budaya Jawa sangat beragam dan unik, terutama di tempat lahir saya Desa Karang Pasar Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan. Disetiap daerah memang mempunyai kebudayaan sendiri walaupun masi sama se kabupaten. Dan benar kata pepatah “ Desa mawa cara, Negara mawa tata “ yaitu desa mempunyai adat sendiri, begitupun dengan sebuah Negara pasti memiliki aturan atau hukum tertentu. Peribasaha ini juga mengingatkan kepada para pendatang yang tinggal di daerah lain. Di mana pun berada, seseorang harus pandai-pandai memahami, menghormati, dan menyesuaikan diri dengan adat-istiadat setempat. Seperti peribahasa dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Mana yang disetujui digunakan, mana yang tidak disepakati jangan diterapkan. Meskipun demikian, janganlah melecehkan nilai-nilai yang tidak disetujui, apalagi bermaksud mengubahnya secara drastis. Sebab, perbuatan tersebut kemungkinan besar dapat menimbulkan kesalahpahaman dengan pihak lain yang berujung pada konflik yang tidak diiginkan.
Masyarakat Jawa dikenal dengan tingkat religius yang tinggi. Jika umumnya kita makan ketupat di hari pertama Idul Fitri atau 1 Syawal, maka warga Tegowanu menyantapnya seminggu kemudian. Baik ketupat buatan rumahan maupun ketupat yang dijual di pasar-pasar tradisional, semuanya baru dibuat menjelang tanggal 8 Syawal. Pemilihan tanggal 8 adalah karena pada tanggal 2-7 Syawal sebagian umat muslim melakukan puasa Syawal. Masyarakat Jawa Tengah menyebutnya bodo kupat atau bodo cilik. Bodo atau ba’da berarti setelah atau selesai. Jadi, kurang lebih artinya adalah kemenangan yang dirayakan dengan makan ketupat setelah berpuasa kecil (6 hari di bulan Syawal). Pada bodo kupat, warga Tegowanu saling berbagi ketupat dan lauknya dengan tetangga sebagai simbol permohonan maaf dan silaturahmi.
Acara silaturahim ini umumnya dilakukan oleh masyarakat Jawa dimana yang muda mengunjungi yang lebih tua. Hal ini mencerminkan pandangan hidup orang Jawa, bahwa orang hidup harus tepa selira, unggah-ungguh (tahu tata krama dan sopan santun). Biasanya yang muda membawa makanan khas ketupat dengan lauk opor ayam yang akan diberikan kepada kerabat yang lebih tua. Makanan ini nantinya akan disantap bersama-sama dengan kerabat. Makanan ketupat inilah yang menjadi ciri khas pada lebaran ketupat, sehingga hampir dipastikan di tiap keluarga masyarakat Tegowanu akan menghidangkan suguhan ketupat dengan lauknya opor ayam dan sambal goreng setiap lebaran ketupat tiba. Selain ketupat, mereka juga saling mengantarkan lepet. Karena ketupat dan lepet memiliki makna filosofis positif yang jika dirangkum menjadi ‘mengakui segala kesalahan dan memohon maaf dengan hati bersih, kemudian mengubur kesalahan tersebut dalam-dalam untuk tidak diulangi, agar persaudaraan semakin erat, tidak ada dendam hingga ajal menjelang’.
Selain filosofi tersebut ada arti filosofi dalam versi lain yaitu ketupat dan lepet. Jika ketupat terbuat dari beras/padi sedangkan Lepet terbuat dari beras ketan. Dari keduanya mempunyai simbul sendiri-sendiri KETUPAT sebagai simbul wanita hal ini bisa kita lihat ketika akan membelah ketupat kita biasanya membelahnya dari arah tengah. Sedangkan LEPET sebagai simbul pria karena bentuknya yang panjang. Disamping itu pada LEPET ada 3 tali yang mengikat sebagai simbul IMAN, ILMU dan AMAL.

 

 Gambar                     Gambar

MAKNA ISTILAH LEBARAN DAN KETUPAT

Lebaran
Lebaran merupakan istilah yang sering dipakai masyarakat dalam menyambut hari Raya Idul Fitri. Lebaran sendiri berasal dari akar kata bahasa Jawa “Lebar” yang berarti selesai, sudah berlalu. Maksud kata “lebar” disini adalah sudah berlalunya bulan Ramadhan, selesainya pelaksanaan ibadah puasa wajib pada bulan Ramadhan hingga tibalah waktunya masuk bulan Syawal.
Pada awal bulan Syawal inilah dilaksanakan Hari Raya Idul Fitri, orang Jawa biasa menyebutnya dengan istilah “Riyaya” atau “Badha”. Riyaya merupakan istilah untuk lebih mempersingkat kata hari raya sedangkan istilah badha berasal dari Bahasa Arab dari akar kata ba’da yang berarti setelah, selesai. Kata badha maupun lebaran mempunyai persamaan arti, yaitu selesainya pelaksanaan ibadah puasa, maka tibalah waktunya berhari raya Idul Fitri. Istilah lebaran sudah menjadi istilah nasional, yang diartikan oleh masyarakat Indonesia sebagai Hari Raya Idul Fitri.

Ketupat
Ketupat atau kupat adalah hidangan khas Asia Tenggara berbahan dasar beras yang dibungkus dengan selongsong terbuat dari anyaman daun kelapa (janur). Ketupat paling banyak ditemui pada saat perayaan Lebaran, ketika umat Islam merayakan berakhirnya bulan puasa. Makanan ini sudah menjadi makanan khas masyarakat Indonesia dalam menyambut hari Raya Idul Fitri.

MAKNA FILOSOFIS LEBARAN KETUPAT

Masyarakat Jawa mempercayai Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan ketupat. Kata “ketupat” atau “kupat” berasal dari kata bahasa Jawa “ngaku lepat” yang berarti “mengakui kesalahan”. Sehingga dengan ketupat sesama muslim diharapkan mengakui kesalahan dan saling memaafkan serta melupakan kesalahan dengan cara memakan ketupat tersebut. Makanan ketupat telah menjadi simbol dalam masyarakat Tegowanu, sehingga orang yang bertamu akan disuguhi ketupat pada hari lebaran ketupat dan diharuskan memakannya sebagai pertanda sudah rela dan saling mema’afkan. Ditempat kami,ketupat masih dibuat sendiri dengan terampil para ibu dan gadis, namun di daerah perkotaan yang sudah sulit untuk memperoleh janur atau daun kelapa yang masih muda, ketrampilan ini sudah hilang dan masyarakat lebih suka membeli selongsong ketupat di pasar atau membeli dalam bentuk ketupat yang sudah masak. Lalu ketupat tersebut diantarkan kepada sanak saudara sebagai lambang permohonan maaf dan silaturrahmi.
Pada saat hari lebaran ketupat, ketupat yang dijadikan makanan khas pada masyarakat Jawa sebagai simbol bahwa semua orang Jawa mengaku salah (ngaku lepat). Dalam setahun, orang saling berebut ”benar”. Dalam suasana Idul Fitri, semua orang saling berebut untuk menyatakan lepat (salah). Sebuah kondisi yang umum, yang muda menyampaikan lepat. Namun, yang tua tidak langsung mengiyakan, tetapi dengan diikuti kalimat, ”wong tuwa uga akeh lupute” (orang tua juga banyak salahnya).Mereka semua mengaku salah.
Banyak makna filosofis yang dikandung dalam makanan ketupat ini. Bungkus yang dibuat dari janur kuning melambangkan penolak bala bagi orang Jawa. Janur artinya sejatine nur (cahaya) yang melambangkan kondisi manusia dalam keadaan suci setelah mendapatkan pencerahan (cahaya) selama bulan Ramadhan. Jadi, makna dari lebaran ketupat adalah kesucian lahir batin yang dimanifestasikan dalam tujuan hidup yang esensial.
Sedangkan bentuk segi empat mencerminkan prinsip “kiblat papat lima pancer”, yang bermakna bahwa ke mana pun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah. Kiblat papat lima pancer ini, dapat juga diartikan sebagai empat macam nafsu manusia, yaitu amarah, yakni nafsu emosional, aluamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar, supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah, dan mutmainah, nafsu untuk memaksa diri. Keempat nafsu ini yang ditaklukkan orang selama berpuasa. Jadi, dengan memakan ketupat orang disimbolkan sudah mampu menaklukkan keempat nafsu tersebut. Sebagian masyarakat juga memaknai rumitnya anyaman bungkus ketupat mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia sedangkan warna putih ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan. Beras sebagai isi ketupat diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya.
Biasanya, ketupat disajikan bersama opor ayam dan sambal goreng. Ini pun ternyata ada makna filosofisnya. Opor ayam menggunakan santan sebagai salah satu bahannya. Santan, dalam bahasa Jawa disebut dengan santen yang mempunya makna “pangapunten” alias memohon maaf. Ada juga tradisi unik namun berbau mistis, Ketupat juga dianggap sebagai penolak bala (jimat) dan khusus untuk yang pernah mempunyai anak atau saudara yang meninggal yaitu dengan menggantungkan ketupat yang sudah matang di atas kusen pintu depan rumah, biasanya bersama pisang, dalam jangka waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan sampai kering. Katanya ketika lebaran ketupat anak mereka datang kerumah lalu mencicipi Ketupat dan Lepet yang dibuatkan keluarga mereka. Masyarakat masih memegang tradisi ini untuk tidak membuat ketupat di hari biasa, sehingga ketupat hanya disajikan sewaktu lebaran dan hingga sepekan sesudahnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Novi Anggraini Putri
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Grobogan, 17 April 1996
Fakultas / Jurusan : Hukum / Ilmu Hukum
Alamat : Desa Karang Pasar Rt. 01/01 Kecamatan Tegowanu Kabupaten Grobogan

Dengan ini menyatakan bahwa di Desa Karang Pasar Rt.01/01 Kecamatan Tegowanu terdapat sebuah adat “Syawalan” yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya dan ditaati oleh masyarakat setempat.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya dan dengan sebenar-benarnya.

 

Semarang, 19 Maret 2014

Mengetahui,                                                                                                                                                             Yang menyatakan
Sekretaris Desa,

WIRYANTO                                                                                                                                                           NOVI ANGGRAINI PUTRI
NIP.196601012007011080 NIM.8111413099