PROSEDUR TATA CARA BERACARA DI MAHKAMAH KONSTITUSI
- Isi Permohonan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU MK dijelaskan bahwa permohonan PHPU adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Kepala Daerah, PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan PMK Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Menurut PMK tersebut permohonan PHPU adalah pengajukan keberatan oleh peserta Pemilihan Umum terhadap penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah.
Setidak-tidaknya dalam permohonan berperkara di Mahkamah Konstitusi harus terdapat tiga elemen penting yang terdapat dalam permohonan. Ketiga pokok tersebut merupakan syarat formil dan materil sebuah permohonan. Pada perkara PHPU, permohonan terkait PHPU juga harus dicantumkan dalam permohonan tiga hal tersebut [Pasal 31 ayat (1) UU MK], yaitu:
- Identitas Pemohon dan Termohon yang dituju
- Posita/pundamentum petendi
- Petitum
Syarat formil tersebut memuat identitas para pihak. Apabila terdapat kekeliruan dalam mencantumkan pihak-pihak, maka dapat menyebabkan permohonan mengalami error in persona. Kekhilafan tersebut dapat menyebabkan permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Permohonan Pemohon harus mencantumkan identitas dirinya. Berupa nama, tempat/tanggal lahir, agama, pekerjaan, alamat. Apabila Pemohon memberikan kuasa pada seseorang untuk bertindak di dalam dan di luar persidangan atas nama Pemohon, maka pemberian kuasa tersebut harus dicantumkan dalam permohonan dengan dilampirkan surat kuasa tersebut dalam pendaftaraan permohonan di MK. Istimewanya, dalam beracara di MK, kuasa hukum Pemohon tidak harus seorang advokat. Pemohon dapat saja memberikan kuasa kepada seseorang yang bukan advokat yang menurut Pemohon mampu membela kepentingannya.
Hal lain yang perlu dimaktubkan dalam permohonan PHPU oleh Pemohon adalah penjelasan mengenai identitas sebagai peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD, calon anggota DPD, pasangan calon dalam Pemilu Kepala Daerah, atau pasangan calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Sedangkan syarat materiil mengharuskan permohonan tersebut mencantumkan dua hal yaitu, mengenai pokok persoalan (posita) dan alasan-alasan keberatan terhadap penetapan hasil Pemilu bersangkutan dan petitum (tuntutan). Posita dalam konsep gugatan pada hukum acara Perdata dan hukum acara tata usaha negara terbagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu:
- Pengungkapan kejadian-kejadian empiris
- Ketentuan-ketentuan mengenai hukum dan/atau teori yang mendukung alasan
Sesuai dengan bentuk isi posita, maka dalam perkara PHPU isi posita sebagaimana dalam beracara perdata dan tata usaha negara tersebut juga menjadi bentuk yang lumrah dalam beracara di Mahkamah Konstitusi termasuk juga dalam perkara PHPU. Hanya saja dalam acara perdata di Indonesia menganut konsep individualisering theorie, di mana di dalam posita dicantumkan hal-hal yang relevan dengan permohonan. Dalam beracara di Mahkamah Konstitusi dianut konsep substantiering theorie, di mana di dalam permohonan dikemukakan mengenai kronologis dari awal hingga akhir terjadinya permasalahan yang dapat memengaruhi hakim dalam pertimbangannya.
Konsep substantiering theorie tersebut juga seringkali digunakan dalam perkara PHPU. Apabila Pemohon tidak lengkap dalam mengemukakan runtutan peristiwa dalam permohonannya, maka biasanya dalam sidang panel, hakim panel akan memberikan masukan agar permohonan lebih menjelaskan hal-hal atau permasalahan yang terjadi. Pasal 75 UU MK menjelaskan mengenai hal-hal yang wajib dikemukakan dalam permohonan, selengkapnya pasal tersebut berbunyi:
“Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:
- Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon; dan
- Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.”
Oleh karena itu dalam permohonan akan dijelaskan secara mendetail awal proses Pemilu hingga hasilnya. Itulah sebabnya dalam permohonan PHPU, Pemohon menjelaskan kapan dia mendaftar selaku calon, penetapannya, kampanye, dan segala hal yang dianggap terkait serta mampu meyakinkan hakim untuk memutuskan sesuai permohonan Pemohon.
Selanjutnya, dalam permohonan harus pula dicantumkan mengenai petitum, yaitu hal yang diminta untuk diputus oleh Mahkamah. Dalam sengketa PHPU petitum juga berisi permintaan agar Mahkamah memerintahkan Termohon untuk melakukan suatu hal. Sehingga dapat saja atas dasar permohonan Mahkamah memerintahkan Termohon (KPU dan jajarannya di daerah) untuk melaksanakan penghitungan suara ulang atau bahkan pemungutan suara (Pemilu) ulang.Permohonan tersebut berdasarkan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 harus diajukan dalam bahasa Indonesia dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh Pemohon, yaitu Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari Dewan Pimpinan Pusat atau nama sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu DPR dan DPRD atau kuasanya, atau partai politik lokal, atau calon anggota DPD peserta Pemilu, dan atau kuasanya untuk Pemilu DPD, atau pasangan calon untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilukada atau kuasanya.
Posita dalam permohonan PHPU harus mencantumkan peristiwa (materiele gebeuren) yang melandasi permohonan. Kesalahan proses Pemilu yang seperti apa yang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan penghitungan suara yang berakibat mempengaruhi hasil Pemilu. Termasuk pula yang dipersoalkan adalah penetapan hasil Pemilu oleh KPU, dan/atau penetapan oleh KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP provinsi, serta KIP kab/ kota.
Permohonan PHPU juga dapat mempermasalahkan perbuatan melawan hukum (onrechmatige overheidsdaad) KPU sepanjang perbuatan tersebut dianggap Pemohon dapat memengaruhi hasil penghitungan suara. Terkait dengan permohonan demikian itu, MK secara tidak langsung dapat memasuki ranah administrasi pembuatan penetapan oleh KPU tersebut. MK dapat menilai bahwa pejabat penyelenggara Pemilu menyalahgunakan kewenangan (detorunament de pouvoir) dalam pelaksanaan Pemilu. Penyalahgunaan tersebut oleh MK dianggap telah menyebabkan memengaruhi hasil suara signifikan dalam Pemilu dan merupakan perbuatan yang sewenang-wenang (abus de droit). MK dapat kemudian membatalkan hasil Pemilu diakibatkan penyalahgunaan kewenangan tersebut sesuai dengan semangat perlindungan konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu.
Dalam pelbagai hukum acara, baik perdata dan tata usaha negara, alasan tersebut yang biasa disebut dalil-dalil permohonan. Dalil-dalil tersebut haruslah memuat alasan (feiten) yang layak dalam menuntut (onderwerp van den eis) yang menjelaskan terjadinya perselisihan suara yang menyebabkan perubahan signifikan hasil Pemilu dan perolehan kursi (dalam hal Pemilu legislatif). Petitum (eis) atau tuntutan harus sejalan dengan posita. Terkait perkara PHPU, maka petitum berupa permintaan untuk membatalkan hasil Pemilu dan/atau meminta pelaksanaan penghitungan suara ulang atau Pemilu ulang. Pemohon juga dapat meminta untuk penetapan jumlah suara yang sesuai dengan posita permohonan, sehingga dalam hal ini MK juga menentukan penghitungan suara yang benar (seharusnya) yang diperoleh oleh Pemohon atau pihak-pihak terkait lainnya.
- Para Pihak
Terkait dengan para Pemohon dalam persidangan MK (tidak hanya PHPU), tidak semua orang dan/atau kelompok, serta lembaga negara tertentu dapat mengajukan diri selaku Pemohon. Menurut Maruarar Siahaan tidak cukup dengan adanya kepentingan hukum saja seseorang dan/ atau kelompok tertentu, serta lembaga negara dapat menjadi Pemohon. Harus terdapat alasan dalam melakukan permohonan. Alasan tersebut lumrah disebut dengan istilah kedudukan hukum (legal standing). Maruarar Siahaan menyebut banyak istilah yang mempunyai makna seragam dengan legal standing, misalnya, personae standi in judicio, standing to sue, dan hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan. Pada putusan Nomor 029/PHPU.A-II/2004 yang merupakan putusan PHPU pertama belum dipaparkan mengenai legal standing Pemohon. Terkait legal standing tersebut MK hanya menyatakan, “Pemohon telah memiliki kapasitas sebagaimana ditentukan oleh Pasal 74 ayat (1) huruf a UU MK”. Sehingga pada mulanya dalam putusan PHPU, pemaparan yang jelas mengenai legal standing tidak terdapat di dalam amar putusan.
Keberadaan ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU MK tersebut membuat terjadinya perkembangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait PHPU di mana akan terdapat pertimbangannya yang menjelaskan mengenai legal standing Pemohon. Dengan mengurai legal standing Pemohon dalam putusannya, maka akan terlihat baik oleh para pihak dalam perkara alasan yang melatarbelakangi Mahkamah Konstitusi menerima atau tidak legal standing Pemohon.
Konsep para pihak dalam PHPU menyerupai konsep yang dianut dalam hukum acara perdata dalam perselisihan keperdataan. Terdapat 2 (dua) pihak dalam sengketa keperdataan sebagaimana diatur dalam Pasal 123 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), yaitu: pertama, pihak materiil adalah orang yang langsung memiliki hak dan kepentingan. Kedua pihak formiil adalah pihak yang menghadap ke muka pengadilan dikarenakan kepentingan orang lain. Pihak formil tidak termasuk pengacara atau kuasa hukum karena keberadaannya di dalam peradilan terjadi dikarenakan sebuah perjanjian. Pihak materiil dalam hukum acara perdata adalah para Penggugat, Tergugat, dan Turut Tergugat. Penggugat adalah orang yang merasa bahwa haknya dilanggar, sedangkan Tergugat adalah orang yang ditarik ke muka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang, sedangkan pihak formil dapat berupa saksi-saksi yang kehadirannya di muka pengadilan adalah demi kepentingan pihak-pihak.
Jika kemudian diperhatikan pula konsep para pihak dalam konsep Hukum Acara Tata Usaha Negara maka dapat diperhatikan ketentuan Pasal 53 UU Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pasal a quo menyatakan bahwa hanya seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga Penggugat adalah orang yang dirugikan akibat keberadaan putusan tata usaha negara, sedangkan Tergugat adalah pihak yang mengeluarkan putusan tata usaha negara tersebut.
Memperhatikan konsep pihak-pihak dalam hukum acara perdata dan hukum acara tata usaha negara tersebut, maka dapat diperbandingkan dengan pihak-pihak dalam hukum acara perselisihan hasil Pemilu. Pada dasarnya para pihak yang ada dalam sengketa PHPU memiliki kesamaan dengan para pihak dalam sengketa keperdataan dan juga sengketa tata usaha negara. Namun untuk memahami para pihak dalam PHPU di MK, maka terlebih dahulu dibahas mengenai konsep legal standing. Dalam hal perkara perselisihan hasil Pemilu, Mahkamah menggunakan dasar hukum pada Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 7 UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, di mana dinyatakan dalam ketentuan tersebut bahwa peserta Pemilu adalah partai politik. Kemudian Mahkamah Konstitusi menjelaskan melalui Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK Nomor 16 Tahun 2009 bahwa yang menjadi pihak dalam perselisihan hasil Pemilu anggota DPR adalah partai politik peserta Pemilu. Posisi para pihak untuk memperjuangkan haknya (handelingsbekwaamheid) itu merupakan hal penting dalam menentukan kedudukan hukumnya. Pihak-pihak yang dianggap tidak memiliki kepentingan untuk bersengketa (personae miserabiles) dianggap tidak memiliki kedudukan hukum dalam bersengketa. Lebih lanjut Maruarar menjelaskan dalam konsep peradilan di Amerika terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi agar sebuah permohonan memiliki legal standing. Tiga syarat tersebut adalah Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan pemohon yang dilindungi secara hukum yang memiliki 2 (dua) sifat, yaitu; spesifik (khusus) dan aktual dalam menimbulkan kerugian (bukan potensial); Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya satu undang-undang (hal ini terkait pengujian konstitusionalitas undang-undang); Kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, maka kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan.
Terkait dengan terdapatnya kepentingan Pemohon yang dirugikan dalam PHPU, dalam konsep hukum acara tata usaha negara juga dikenal dengan kepentingan Penggugat yang dirugikan. Sehubungan dengan kata ”kepentingan yang dirugikan” tersebut, Indroharto menjelaskan bahwa ”kepentingan” adalah sesuatu yang memiliki nilai, baik material maupun nonmaterial, yang merupakan milik individu atau organisasi yang harus dilindungi hukum. Kepentingan tersebut menurut Indroharto harus pula bersifat personal dan pribadi bagi pemiliknya dan nilainya dapat ditentukan secara objektif.
Pemohon Perselisihan Hasil Pemilu DPR dan DPRD
Pasal 74 ayat (1) UU MK menjelaskan siapa saja yang dapat menjadi Pemohon dalam perkara PHPU DPR, DPD, dan DPRD. Dalam hal Pemilu DPR dan DPRD para Pemohon adalah partai politik peserta pemilihan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) huruf c UU MK. Permohonan yang diajukan didasari kepada ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PHPU Legislatif). Selengkapnya pasal tersebut berbunyi sebagai berikut;
”Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh;
- Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan pusat atau nama yang sejenisnya dari partai politik peserta Pemilu atau kuasanya;
- Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dari dewan pimpinan atau nama yang sejenisnya dari partai politik lokal atau kuasanya.
Sehingga para Pemohon yang merupakan anggota partai politik atau pengurus daerah dari partai politik tertentu tidak dapat secara langsung mengajukan permohonan tanpa melalui pimpinan pusat partainya. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi maka legal standing Pemohon akan dipertanyakan dan MK dapat memutuskan permohonan tidak dapat diterima, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 77 ayat (1) UU MK.
Walaupun mengenai ketentuan permohonan ditandatangani oleh pimpinan pusat partai politik tersebut tidak terdapat dalam ketentuan Pasal 74 juncto Pasal 77 ayat (1) UU MK yang terkait dengan sebab tidak diterimanya permohonan, namun ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 harus dianggap satu bagian tidak terpisah dari ketentuan UU a quo. Sehingga apabila ketentuan yang diatur Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009 dalam hal tidak terdapat tanda tangan pimpinan partai politik bersangkutan, maka MK akan memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Persyaratan yang tidak diatur dalam UU MK tersebut perlu secara teknis diatur MK dikarenakan apabila seluruh anggota partai dan/atau pimpinan partai politik di daerah diperbolehkan untuk mendaftarkan permohonan maka akan terjadi kerumitan perkara di MK. Bayangkan apabila 3 orang anggota partai politik yang sama namun berbeda pendapat dalam hal melihat hasil Pemilu, maka di MK terkesan akan menyelesaikan sengketa internal partai politik dalam hasil Pemilu, sehingga terjadi penumpukan perkara yang tidak perlu dibatasi dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) PMK Nomor 16 Tahun 2009. Namun apabila terdapat sesama anggota partai politik tertentu yang juga mempertanyakan hasil Pemilu yang diperoleh rekan partainya, maka ia dapat masuk sebagai Pihak Terkait sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 16 PMK Nomor 16 Tahun 2009.
Pemohon Perselisihan Hasil Pemilukada
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PMK 15/2008) merupakan regulasi yang mengatur mengenai sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pemilukada). Pasal 1 angka 9 PMK 15/2008 menyebutkan bahwa Pemohon adalah pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah peserta Pemilukada.
Pasal 3 mengatur mengenai para pihak yang memiliki kepentingan langsung dalam hasil perselisihan hasil Pemilukada. Salah satu yang memiliki kepentingan langsung tersebut adalah para pihak yang mencalonkan diri dalam Pemilukada. Terkait dengan keberadaan Pemohon, hal itu diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf a yang menyebutkan bahwa pasangan calon sebagai Pemohon. Pemohon dapat diwakilkan dan/atau didampingi oleh kuasa hukumnya yang dibuktikan dengan surat kuasa khusus dari Pemohon.
- Termohon dan Turut Termohon
Termohon Perselisihan Hasil Pemilukada
Perselisihan hasil Pemilukada yang berlangsung di daerah menjadikan pihak-pihak yang bersengketa pada dasarnya juga berada pada ranah lokal. Termasuk pula pihak Termohon. Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 3 ayat (1) huruf a PMK 15/2008 menjelaskan bahwa Termohon adalah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilukada.
Pihak Terkait
Pihak terkait dalam PHPU adalah orang yang berpendapat bahwa kepentingannya terkait dengan permohonan Pemohon. Dalam hukum acara perdata dikenal istilah pihak ketiga yang keikutsertaannya dalam persidangan disebut dengan intervensi. Apabila keikutsertaan pihak ketiga tersebut menguatkan posisi pihak Penggugat (eiser, plaintiff) atau Tergugat (gedaagde, defendant) maka intervensi itu disebut voeging. Namun apabila pihak ketiga ”hadir” dalam persidangan dikarenakan untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri, intervensi itu disebut tussenkomst.
Konsep yang sama juga diterapkan dalam peradilan tata usaha negara, dimana pihak ketiga yang melakukan intervensi dapat pula membela dirinya sendiri atau bergabung kepada salah satu pihak yang bersengketa. Hakim dalam perkara sengketa tata usaha negara dapat mengambil inisiatif untuk intervensi agar pihak ketiga dilibatkan dalam persidangan.
Keterlibatan pihak lain dalam PHPU juga terjadi, di mana Panitera ataas perintah hakim akan memberitahukan pihak-pihak yang akan terkait dengan perkara, sehingga pihak-pihak tersebut dapat mempersiapkan diri untuk terlibat dalam sengketa. Hal itu juga dikenal dalam acara perdata, dimana di dalam Reglement Rechtsvordering diatur mengenai pemanggilan pihak ketiga dalam suatu proses untuk menanggung (vrijwaren) apa yang digugat oleh Penggugat.613 Sehingga dalam perkara PHPU di MK pemanggilan Pihak Terkait juga difungsikan agar pihak tersebut siap untuk menanggung konsekuensi dari Putusan Mahkamah terhadap permohonan Pemohon yang dapat saja merugikan Pihak Terkait.
Dua jenis kepentingan kehadiran pihak ketiga dalam hukum acara perdata dan hukum acara tata usaha negara tersebut sesungguhnya juga sama dengan keikutsertaan Pihak Terkait dalam perkara PHPU. Pihak Terkait dalam PHPU dapat terlibat dalam sengketa dikarenakan untuk menguatkan permohonan Pemohon atau juga menguatkan putusan KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP provinsi, KIP kabupaten/kota. Namun dapat pula keterlibatan Pihak Terkait dalam sengketa hanya untuk memperjuangkan kepentingannya.
Pihak Terkait Perselisihan Hasil Pemilukada
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) PMK 15/2008, yang berhak menjadi Pihak Terkait adalah pasangan calon selain Pemohon dapat menjadi pihak terkait. Sebagaimana juga dengan Pemohon, maka bila mereka diwakilkan atau menguasakan diri kasus melampirkan surat kuasa khusus.
- Objek Permohonan (objectum litis)
Objek Permohonan Perselisihan Hasil Pemilukada
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 PMK 15/2008, objek permohonan dalam perkara Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon, yaitu KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilukada. Hasil penghitungan suara yang menjadi objek perselisihan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 4 PMK 15/2008 disebutkan, yang mempengaruhi:
- penentuan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Pemilukada; atau
- terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
- Pembuktian dan Alat Bukti
Dalam PHPU, alat bukti sangat penting dalam memberikan keyakinan bagi hakim untuk menentukan putusannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 PMK 16/2009 alat bukti dalam perselisihan hasil Pemilu terdiri dari:
- informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
Alat bukti surat atau tulisan berdasarkan ketentuan Pasal 11 PMK 16/2009 adalah yang memiliki keterkaitan langsung dengan objek perselisihan hasil Pemilu yang dimohonkan ke MK.
Alat bukti surat atau tulisan tersebut terdiri dari:
- berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD di Tempat Pemungutan Suara (TPS);
- berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK);
- berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU kabupaten/kota;
- berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD kabupaten/kota;
- berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU provinsi;
- berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD provinsi;
- berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU
- berita acara dan salinan penentapan hasil penghitungan suara secara nasional anggota DPR, DPD, dan DPRD dari KPU;
- salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuataan hukum tetap yang mempengaruhi perolehan suara partai politik peserta Pemilu dan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota; dan
- dokument tertulis lainnya.
Bukti surat atau tulisan tersebut harus diajukan sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang aslinya dibubuhi materai secukupnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Tenggang Waktu Pengajuan Permohonan dan Tenggang Waktu Putusan
Mengenai tenggang waktu (daluarsa) diatur pula dalam hukum acara peradilan tata usaha. Daluarsa tersebut adalah batasan waktu dalam mengajukan permohonan. Ketentuan mengajukan permohonan dalam perkara PHPU juga dibatasi, baik dalam PHPU legislatif, PHPU Presiden maupun PHPU Kepala Daerah
Tenggang Waktu PHPU Kepala Daerah
Pasal 5 ayat (1) PMK 5/2008 Permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pemilukada harus diajukan ke Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah bersangkutan. Permohonan yang melewati batas waktu tersebut tidak dapat diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi di Mahkamah Konstitusi. [Pasal 5 ayat (2) PMK 5/2008]. Apabila permohonan sesuai tenggang waktu yang ditentukan, maka setelah teregistrasi dan mengikuti proses persidangan, Mahkamah wajib memutus perkara tersebut paling lambat 14 (empat belas) hari sejak permohonan terdaftar dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. [Pasal 13 ayat (1) PMK 5/2008].
- Proses Persidangan dan Pembuktian
Tahapan persidangan di Mahkamah Konstitusi baru akan dimulai setelah permohonan Pemohon diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Akta Penerimaan Berkas Permohonan (APBP), dan diregistrasi, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Akta Registrasi Perkara.
Berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (3) UU MK, permohonan perselisihan hasil pemilihan umum hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (1) PMK No. 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (PMK 16/2009) dan Pasal 5 ayat (1) PMK No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PMK 17/2009). Sedangkan untuk PHPU Kepala Daerah diatur lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMK 15/2008), yaitu permohonan diajukan ke Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada di daerah yang bersangkutan. Apabila permohonan diajukan melampaui tenggang waktu sebagaimana ditentukan ketentuan di atas, Panitera Mahkamah Kontitusi akan menerbitkan Akta Tidak Diregistrasi.
Jika permohonan Pemohon dianggap telah lengkap dan memenuhi persyaratan, Panitera Mahkamah Konstitusi akan menerbitkan Akta Registrasi Perkara dan mencatatnya dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), namun apabila permohonan Pemohon tidak lengkap dan tidak memenuhi persyaratan, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) PMK 16/2009 dan Pasal 6 ayat (3) PMK 17/2009, Pemohon diberikan kesempatan memperbaikinya dalam tenggat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah tenggat pengajuan permohonan, sedangkan untuk PHPU Kepala Daerah, berdasarkan Pasal 7 ayat (3) PMK 15/2008, Pemohon dapat melakukan perbaikan sepanjang masih dalam tenggat mengajukan permohonan.
Kelengkapan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh Pemohon dalam permohonannya yaitu:
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat kuasa khusus dari Pemohon [Pasal 6 ayat (1) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (2) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat (2) PMK 17/2009]; Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat, a. identitas Pemohon yang dilengkapi fotokopi KTP dan bukti sebagai peserta pemilu; b. uraian yang jelas mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon (posita); dan c. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon (petitum) [Pasal 6 ayat (2) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (4) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat (3) PMK 17/2009]; permohonan yang diajukan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung [Pasal 6 ayat (3) PMK 15/2008, Pasal 6 ayat (5) PMK 16/2009, dan Pasal 5 ayat (4) PMK 17/2009].
Panitera mengirimkan salinan permohonan yang sudah dicatat dalam BRPK kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan untuk PHPU Legislatif [Pasal 7 ayat (3) PMK 16/2009] dan PHPU Kepala Daerah [Pasal 7 ayat (5) PMK 15/2008], sedangkan untuk PHPU Presiden, Panitera mengirimkan salinan permohonan yang sudah diregistrasi kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan jawaban tertulis KPU dan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan [Pasal 6 ayat (4) PMK 17/2009].
Penentuan hari sidang pertama dan pemberitahuan kepada pihak-pihak dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak registrasi untuk PHPU Kepala Daerah [Pasal 7 ayat (5) PMK 15/2008], untuk PHPU Legislatif, Mahkamah menentukan hari sidang pertama dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK dan penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada Pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan [Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6) PMK 16/2009], sedangkan untuk PHPU Presiden, hari sidang pertama diselenggarakan setelah 3 (tiga) hari terhitung sejak permohonan diregistrasi dan pemberitahuan hari sidang pertama kepada Pemohon dan KPU paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sebelum persidangan [Pasal 6 ayat (5) dan ayat (6) PMK 17/2009].
Persidangan di MK terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Persidangan MK selalu diawali dengan pemeriksaan pendahuluan yang lumrah disebut sidang panel. Pasal 28 ayat (4) UU MK memperbolehkan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk hakim panel yang terdiri sekurang-kurangnya tiga orang hakim konstitusi. Pembentukan panel hakim ini bukanlah sebuah keharusan karena ketentuan Pasal 28 ayat (4) tersebut hanya menyatakan bahwa Mahkamah “dapat membentuk panel hakim” sebelum dilaksanakan Pleno. Apabila Mahkamah berpendapat untuk membentuk panel hakim lebih dari tiga maka hal itu dapat saja terjadi. Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim sekurang-kurangnya dihadiri oleh tiga orang Hakim Konstitusi atau Pleno Hakim. Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Panel Hakim atau Pleno Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan dan wajib memberi nasihat kepada Pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan. Perbaikan permohonan dapat dilakukan oleh Pemohon dalam jangka waktu paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam untuk PHPU Legislatif [Pasal 8 ayat (3) PMK 16/2009] dan dalam persidangan hari pertama, baik atas kemauan sendiri maupun atas nasihat hakim untuk PHPU Presiden [Pasal 7 ayat (3) PMK 17/2009].
Dalam persidangan MK, setelah melakukan sidang “perbaikan permohonan” yang mendengarkan masukan (nasihat) hakim, kembali dilakukan persidangan panel yang terkait dengan permohonan tersebut. Sidang panel lanjutan tersebut akan memperdengarkan apakah Pemohon telah menerima nasihat dari Mahkamah pada sidang sebelumnya atau tetap bertahan dengan permohonan awalnya. Keberadaan sidang panel lanjutan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan manapun, sehingga proses persidangan tersebut hanya merupakan kebiasaan (convention) yang dilakukan Mahkamah Konstitusi. Pada sidang panel ini Mahkmaah juga mempertanyakan daftar alat bukti yang dilampirkan Pemohon untuk kemudian disahkan sebagai alat bukti. Terkait alat bukti, Pemohon dapat pula melakukan penambahan alat bukti dalam persidangan pleno. Mengenai penambahan tersebut, biasanya Mahkamah Konstitusi akan menanyakan mengenai kemungkinan penambahan alat bukti tersebut.
Pada persidangan selanjutnya, Hakim Mahkamah Konstitusi memperdengarkan permohonan Pemohon yang dibacakan atau dapat pula Pemohon hanya menyampaikan hal-hal pokok (identitas, posita, dan petitum) dari permohonannya di dalam persidangan. Setelah penyampaian tersebut Mahkamah Konstitusi akan memberikan kesempatan kepada Termohon untuk menyampaikan tanggapannya terhadap permohonan Pemohon. Apabila Termohon meminta waktu untuk menjawab permohonan Pemohon dalam persidangan berikutnya, maka Mahkamah Konstitusi akan menentukan sidang berikutnya.
Pada dasarnya proses pemeriksaan persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut;
- Mendengarkan Permohonan
- Jawaban Termohon;
- Keterangan Pihak Terkait;
- Pembuktian oleh Pemohon, Termohon, Pihak Terkait; dan
Masing-masing pihak di dalam persidangan diminta untuk menghadirkan bukti-bukti terkait dengan perkara. Mahkamah Konstitusi biasanya akan lebih mempertimbangkan pihak-pihak yang mampu menghadirkan alat bukti yang sahih. Dalam hal PHPU, alat bukti sahih tersebut adalah kertas penghitungan hasil suara, baik berupa versi penyelenggara Pemilu, pengawas Pemilu, dan saksi-saksi. Apabila masing-masing kertas penghitungan tersebut dapat dibuktikan keasliannya oleh para pihak, maka Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan sebagai bahan dasar dalam merumuskan putusan.
Persidangan juga memberikan kesempatan bagi para pihak dan saksi-saksi untuk menyampaikan hal-hal terkait dengan perkara. Misalnya, para Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait juga diperbolehkan untuk menghadirkan ahli yang menguatkan permohonannya. Apabila dianggap perlu oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah dapat pula menghadirkan ahli yang dianggap mampu memberikan keterangan terkait perkara.
Jika Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa persidangan telah mencukupi untuk memberikan putusan, maka Mahkamah akan menentukan jadwal pembacaan putusan. Setelah sidang pembacaan putusan, para pihak akan mendapatkan copy putusan yang diserahkan langsung oleh Panitera Mahkamah Konstitusi.
Untuk menentukan putusan, Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Rapat permusyawaratan tersebut dilakukan setelah pemeriksaan persidangan dianggap cukup. RPH harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hakim konstitusi yang terlebih dahulu mendengarkan hasil rapat panel hakim. Putusan yang diambil melalui RPH tersebut dilakukan secara musyawarah mufakat dengan terlebih dahulu mendengarkan pendapat hukum para hakim konstitusi. Apabila dalam musyawarah mufakat tersebut tidak dapat diperoleh kesepakatan umum, maka akan dilakukan pengambilan keputusan melalui suara terbanyak (voting). Namun apabila di dalam voting tersebut tetap tidak diperoleh suara terbanyak, suara terakhir Ketua Rapat Pleno Hakim Konstitusi menentukan putusan yang dijatuhkan.
Putusan terkait perselisihan hasil Pemilu tersebut kemudian akan dibacakan dalam rapat yang terbuka untuk umum yang amarnya berdasarkan ketentuan Pasal 13 PMK Nomor 15 Tahun 2008 juncto Pasal 15 PMK Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 15 PMK Nomor 17 Tahun 2009 akan berbunyi:
- Permohonan tidak dapat diterima (niet otvankelijk verklaard) apabila pemohon dan atau permohonan tidak memenuhi syarat;
- Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah membatalkan (void an initio) hasil penghitungan suara oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar;
- Permohonan ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan.
Namun apabila Pemohon dalam proses persidangan kemudian menarik permohonannya (Pasal 35 UU MK), maka Mahkamah akan mengeluarkan penetapan. Penetapan oleh peradilan adalah tindakan Mahkamah yang diluar putusan, sebagaimana juga penetapan hari sidang dan lain-lain di luar vonis (putusan). Penarikan permohonan oleh Pemohon berakibat permohonan yang sama tidak dapat diajukan kembali [Pasal 35 ayat (2) UU MK].
Putusan MK bersifat final, bahkan terhadap perkara PHPU juga tidak dikenal upaya lain untuk membatalkan putusan MK. Dalam berperkara di MK juga tidak dikenal dengan upaya perlawanan (verzet) terhadap ketetapan yang diterbitkan oleh MK, baik terhadap ketetapan hari sidang, ketetapan penarikan kembali permohonan, ketetapan Mahkamah tidak berwenang, dan lain-lainnya yang diterbitkan Mahkamah terkait dengan perkara PHPU.
Namun dalam perkembangannya bentuk-bentuk putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil Pemilu mengalami perkembangan. UU MK dan PMK terkait tidak mengenal jenis putusan yang bunyi amarnya menyatakan, ”mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian”. Terdapat pula Putusan Sela, yang terkait eksepsi permohonan Pemohon yang meminta hakim menjatuhkan Putusan Sela apabila kerugian konstitusional terjadi. Namun Hakim dapat saja menganggap bahwa alasan permohonan Pemohon agar hakim menjatuhkan Putusan Sela dinyatakan tidak beralasan hukum sehingga dapat saja ditolak oleh hakim.
Mengenai putusan sela diatur dalam Pasal 8 ayat (4) PMK 5/2008, Pasal 1 angka 19 dan Pasal 9 ayat (5) PMK 16/2009 serta Pasal 1 angka 9 dan PMK 17/2009. Berdasarkan Putusan Sela tersebut, maka Hakim Mahkamah Konstitusi akan menjatuhkan putusan akhir apabila persidangan telah dianggap selesai. Putusan akhir tersebut dianggap merupakan bagian tidak terpisah dari Putusan Sela, sehingga tenggang waktu dalam memutuskan sengketa PHPU tidak terlampaui. Perkembangan lain terkait putusan dalam perkara PHPU adalah pemungutan suara (Pemilu) ulang dan penghitungan suara ulang. Putusan ini pertama kali dijatuhkan dalam perkara Pemilukada Jawa Timur. Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 memerintahkan Termohon (KPU Provinsi Jatim) untuk melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak putusan diucapkan dalam persidangan. Putusan tersebut juga memerintahkan Termohon untuk melakukan penghitungan suara ulang di Kabupaten Pamengkasan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan dalam persidangan. Sejak itu putusan-putusan terkait PHPU banyak yang memerintahkan Termohon untuk melakukan Pemilu ulang ataupun penghitungan suara ulang. Terkait dengan putusan tersebut Mahkamah dalam konsiderannya berpendapat bahwa:
”Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh menilai hasil Pemilukada dan melakukan penghitungan suara ulang dari berita acara atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sebab kalau hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang dibuat oleh Termohon tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan keadilan.”
Dalam banyak putusan, MK mencoba keluar dari penafsiran UU secara sempit tersebut. Konsep putusan tersebut dikenal dengan putusan yang mengedepankan konsep keadilan substantif. Putusan lain, perkara Nomor 47-81/PHPU.A/VII/2009, Mahkamah bahkan memperbolehkan Pemilu perwakilan di Yahukimo, Papua, dimana pencontrengan kertas suara diwakilkan kepada para kepala suku-kepala suku. Mahkamah memutuskan juga bahwa kotak suara digantikan dengan Noken, tas masyarakat adat Papua. Sebagaimana pengujian undang-undang, kewenangan PHPU juga mengedepankan perlindungan konstitusionalitas, di mana penyelenggaraan asas-asas Pemilu dianggap nilai konstitusi yang patut dilindungi. Hal itu menyebabkan putusan MK dalam perkara PHPU juga akan mengalami perkembangan karena nilai-nilai konstitusionalitas Pemilu juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Teori yang mendukung paham itu dikenal dengan the living constitution.
Putusan MK dalam perkara PHPU, sebagaimana juga dengan putusan peradilan perdata, dapat berbentuk declaratoir dan constitutief.614 Putusan yang berbentuk declaratoir itu memberikan kewajiban hukum kepada pihak-pihak. MK dalam perkara PHPU dapat pula memutuskan agar Termohon (KPU) untuk menyelenggarakan penghitungan suara ulang dan/atau pemungutan suara (Pemilu) ulang. Dalam hal tertentu putusan MK dapat berbentuk pula putusan constitutief, di mana putusan MK dapat membentuk keadaan hukum baru. Putusan PHPU pada umumnya menentukan hasil penghitungan suara menurut fakta-fakta yang ditemukan MK dalam persidangan. Sehingga ketika MK menentukan perubahan hasil penghitungan suara sesuai dengan penghitungan MK, maka putusan tersebut telah membentuk keadaan hukum baru. Ketetapan KPU yang menetukan hasil suara yang berhak memperoleh kursi telah diubah oleh putusan MK.
Adapun asas-asas hukum acara Mahkamah Konstitusi yang dijadikan dasar hukum dan pedoman dalam beracara antara lain:
1) Persidangan Terbuka untuk Umum
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini berlaku secara universal dan berlaku di semua lingkungan peradilan. Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK) menentukan secara khusus bahwa sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Keterbukaan sidang ini merupakan salah satu bentuk social control dan juga bentuk akuntabilitas Hakim. Transparansi dan akses publik secara luas yang dilakukan MK dengan membuka, bukan hanya sidang tetapi juga proses persidangan yang dapat dilihat atau dibaca melalui transkripsi, berita acara dan putusan yang dipublikasikan lewat dunia maya.Tersedianya salinan putusan dalam bentuk hard copy yang dapat diperoleh pihak Pemohon dan Termohon setelah sidang pembacaan putusan yang dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum merupakan interpretasi MK terhadap keterbukaan dan asas sidang terbuka untuk umum tersebut serta sebagai pelaksanaan Pasal 14 UU MK.
2) Independen dan Imparsial
Pasal 2 UUMK menyatakan bahwa MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pada Pasal 33 UU Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Independensi atau kemandirian tersebut sangat berkaitan erat dengan sikap imparsial atau tidak memihak hakim baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan.Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. Indenpendensi melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan dalam hal ini adalah MK sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkausa, kelompok atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya (dikutip dari bukunya Prof Jimly Asshidiqie “Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara” (hal. 53).Hakim yang tidak independen atau mandiri tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian juga satu Mahkamah yang tergantung pada badan lain dalam bidang-bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Independensi dan imparsialitas merupakan konsep yang mengalir dari doktrin separation of powers (pemisahan kekuasaan) yang harus dilakukan secara tegas agar cabang-cabang kekuasaan negara tidak saling mempengaruhi.
3) Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana dan Murah
Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Penjelasan atas ayat (2) tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dialakukan dengan acara yang efisien dan efektif sedangkan biaya murah adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh raktyat. Dalam hukum acara MK tidak dikenal adanya biaya perkara yang dibebankan pada pemohon atau termohon. Semua biaya yang menyangkut persidangan di MK dibebankan pada biaya negara. Menurut Prof. Jimly, ketentuan mengenai biaya perkara dibebankan pada negara alasannya adalah bahwa proses peradilan di lingkungan MK pada pokoknya bukanlah mengadili kepentingan umum atau kepentingan lembaga-lembaga negara yang juga bersifat publik. Karena itu, orang berurusan dengan MK tidak perlu dibebani dengan beban biaya sama sekali. Selain itu, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan MK, lebih baik jika MK dibebaskan dari keharusan berhubungan keuangan dengan pihak lain. Biarlah seluruh kebutuhan MK dibebankan saja kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
4) Hak untuk Didengar Secara Seimbang (Audi et Alteram Partem)
Dalam perkara yang diperiksa dan diadili di persidangan biasa, baik penggugat maupun tergugat, atau penuntut umum maupun terdakwa mempunyai hak yang sama untuk didengar keterangannya secara berimbang dan masing-masing pihak mempunyai kesempatan yang sama mengajukan pembuktian untuk mendukung dalil masing-masing.Dalam nuansa yang sedikit berbeda, pada pengujian undang-undang maka pemohon dan pemerintah serta DPR maupun pihak yang berkaitan langsung dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji juga diberi hak yang sama untuk didengar. Bahkan stakeholder lain yang merasa mempunyai kepentingan dengan undang-undang yang diuji tersebut harus didengar jika pihak yang terkait tersebut mengemukakan keinginannya untuk memberi keterangan. Setidak-tidaknya memberi keterangan secara tertulis yang wajib dipertimbangkan MK jika keterangan tersebut mengandung nilai yuridis yang dapat membuat jelas permasalahan yang berkaitan denagn prosedur pembuatan undang-undang tersebut maupun muatan materi atau bagian pasal maupun ayat undang-undang yang diuji tersebut.Asas ini berkaitan dengan asas Independen dan Imparsial. Dalam proses perkara, pihak terkait yang tidak secara langsung ikut, keterangannya akan dinilai Mahkamah sebagai ad informabdum. Kegagalan hakim untuk melaksanakan asas ini secara baik akan menimbulkan kesan bahkan tuduhan bahwa hakim atau Mahkamah tidak imparsial bahkan tidak adil. Dalam peradilan biasa hal demikian pun dapat dijadikan alasan untuk membatalkan putusan yang telah dijatuhkan.
5) Hakim Aktif dan Juga Pasif dalam Proses Persidangan
Asas ini menarik, karena dalam hukum acara MK hakim tidak hanya bersikap pasif saja, tetapi sekaligus harus bersikap aktif. Hal ini karena karakteristik khusus perkara konstitusi yang kental dengan kepentingan umum ketimbang kepentingan perorangan telah menyebabkan proses persidangan tidak dapat diserahkan hanya pada inisiatitif pihak-pihak. Mekanisme constitutional control harus digerakkan pemohon dengan satu permohonan dan dalam hal demikian hakim bersikap pasif dan tidak boleh secara aktif melakukan inisiatif untuk menggerakkan mekanisme MK memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu permohonan. Maka sekali permohonan tersebut didaftar dan mulai diperiksa, disebabkan adanya kepentingan umum yang termuat didalamnya secara langsung maupun tidak langsung akan memaksa hakim untuk bersikap aktif dalam proses dan tidak menguntungkan proses hanya pada inisiatif pihak-pihak, baik dalam rangka menggali keterangan maupun bukti-bukti yang dianggap perlu untuk membuat jelas dan terang hal yang diajukan dalam permohnan tersebut.
6) “Ius Curia Novit”
Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dengan kata lain bahwa Mahkamah dianggap mengetahui hukum yang diperlukan. Mahkamah tidak dapat menolak memeriksa, mengadili dan memutus setiap perkara yang diajukan dengan alasan bahwa hukum nya tidak ada atau hukumnya kurang jelas.